Judul buku: Metamorfosa Samsa
Penulis: Franz Kafka
Penerjemah: Sigit Susanto
Penerbit: Baca
Cetakan: Tahun 2018
Tebal: 100 halaman
ISBN : 978-602-6486-19-6
Peresensi: Mahmudi
Radar Madura, 5 Agu 2018
Salah satu problem terbesar dalam membaca karya sastra adalah menyelami sisi gramatis-psikologis pengarang. Seorang pembaca membutuhkan seperangkat hermeneutika dalam usaha memahami karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra tidak seperti karya non-fiksi yang alur logikanya mudah ditebak. Kenyataan ini mendapatkan momentumnya ketika kita disuguhkan buku Metamorfosis Franz Kafka.
Dalam buku Metamorfosis-nya ini, pembaca dibuat bingung, kemana arah Kafka dalam pesan tulisannya. Tidak sedikit para pengkaji sastra dan peneliti melakukan kajian terhadap karya Kafka yang berjudul Metamorfosis ini, namun semuanya tidak mewakili pesan utuh apa yang hendak disampaikan Kafka. Yang terjadi adalah sebatas interpretasi-interpretasi. Dalam hal ini, Gustav Janouch menafsirkan sosok Gregor Samsa dalam novel ini sebagai Kafka itu sendiri karena ada kesamaan tempat, perihal orang, dan suasana pekerjaan. Gabriel Garcia Marquez, novelis pemenang nobel sastra, berpendapat Kafka adalah penulis yang tidak punya perencanaan yang baik. Jadi, setiap orang bisa menulis dengan gaya Kafka.
Dengan demikian, Kafka sebenarnya berhasil memantik pembaca untuk melakukan berbagai interpretasi terhadap karyanya. Inilah keunikannya yang tak dimiliki penulis-penulis lain. Kafka merupakan novelis yang hidup pada abad ke 19, dimana kehidupan urban sangat mempengaruhinya.
Berikut ini adalah sebagian interpretasi yang bisa kita peroleh dari Metamorfosis, yaitu bahwa setiap manusia terpenjara di dalam kehidupannya. Hal ini ditunjukkan Kafka dengan metamorfosa manusia (Samsa) menjadi binatang (Serangga) yang menjijikkan. Namun demikian, interpretasi tersebut akan melahirkan interpretasi-interpretasi berikutnya, karena tidak jelasnya pesan yang hendak disampaikan Kafka. Pembaca secara bebas boleh menafsirkan apa maksud Kafka dengan metamorfosis tersebut.
Di sisi lain, bisa jadi Kafka sebenarnya hanya ingin berimajinasi tentang pribadinya sendiri. Tapi, pembaca umum menganggap itu sebuah karya yang fenomenal. Bahkan Kafka mengatakan bahwa draft tulisan metamorfosis ini jelek dan menakutkan. Sehingga tidak patut untuk dibaca (hlm. Viii).
Ada sebagian yang mengatakan Kafka dipengaruhi oleh psikonalisis Sigmund Freud tentang kompleksitas keluarga. Disitulah digambarkan sosok Gregor yang terkurung dalam tubuh serangga raksasa yang sulit berkomunikasi dengan lingkungan keluarganya sendiri.
Dalam buku yang berjudul Truth and Method, Gadamer menggambarkan bahwa pemahaman manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Pemahaman berdiri sendiri di dalam subyek yang memahami. Pemahaman tidak bergantung kepada obyek. Setidaknya Kafka berada pada semangat Gadamerian ini. Ia menggelindingkan “bola” karyanya sehingga pembaca bebas menafsirkannya. Dalam perspektif Gadamer, penafsiran manusia itu bergerak melingkar. Tak ada kebenaran yang absolut di dalam memahami sesuatu.
Dalam interpretasi berikutnya, apa yang ingin disampaikan Kafka adalah jauh lebih filosofis. Akibatnya, pembaca dituntut untuk berpikir keras dalam memahaminya. Kita dapat menganalogikan serangga dengan manusia yang terkurung dalam alam semesta. Dengan demikian, Kafka telah mengembangkan filsafat dalam dunia sastra.
Kita juga diingatkan dengan karya Nietzsche. Dalam bukunya, Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche mengumandangkan kematian Tuhan dan Kebebasan Manusia yang dikenal dengan Ubermensch (manusia super). Nietzsche memperbanyak metafora dalam karyanya tersebut. Demikian juga karya Kafka, mirip dengan apa yang telah ditulis oleh Nietzsche. Hanya saja, bila Thus Spoke Zarathustra terkesan optimistis, maka dalam Metamorfosis ini terkesan pesimistis.
Setelah menghatamkan novel singkat Kafka ini, kita mungkin sempat mengharap sebuah ending yang bagus dibalik kematian Gregor Samsa di kamarnya. Namun alih-alih mendapatkannya, Kafka malah menjebak pembaca dengan berbagai macam pertanyaan yang sepertinya tak kan berkesudahan. Inilah kekuatan narasi novel Kafka yang sesungguhnya. Sebuah novel yang menantang pembaca untuk merenungi makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
***
Penulis: Franz Kafka
Penerjemah: Sigit Susanto
Penerbit: Baca
Cetakan: Tahun 2018
Tebal: 100 halaman
ISBN : 978-602-6486-19-6
Peresensi: Mahmudi
Radar Madura, 5 Agu 2018
Salah satu problem terbesar dalam membaca karya sastra adalah menyelami sisi gramatis-psikologis pengarang. Seorang pembaca membutuhkan seperangkat hermeneutika dalam usaha memahami karya sastra. Hal ini disebabkan karya sastra tidak seperti karya non-fiksi yang alur logikanya mudah ditebak. Kenyataan ini mendapatkan momentumnya ketika kita disuguhkan buku Metamorfosis Franz Kafka.
Dalam buku Metamorfosis-nya ini, pembaca dibuat bingung, kemana arah Kafka dalam pesan tulisannya. Tidak sedikit para pengkaji sastra dan peneliti melakukan kajian terhadap karya Kafka yang berjudul Metamorfosis ini, namun semuanya tidak mewakili pesan utuh apa yang hendak disampaikan Kafka. Yang terjadi adalah sebatas interpretasi-interpretasi. Dalam hal ini, Gustav Janouch menafsirkan sosok Gregor Samsa dalam novel ini sebagai Kafka itu sendiri karena ada kesamaan tempat, perihal orang, dan suasana pekerjaan. Gabriel Garcia Marquez, novelis pemenang nobel sastra, berpendapat Kafka adalah penulis yang tidak punya perencanaan yang baik. Jadi, setiap orang bisa menulis dengan gaya Kafka.
Dengan demikian, Kafka sebenarnya berhasil memantik pembaca untuk melakukan berbagai interpretasi terhadap karyanya. Inilah keunikannya yang tak dimiliki penulis-penulis lain. Kafka merupakan novelis yang hidup pada abad ke 19, dimana kehidupan urban sangat mempengaruhinya.
Berikut ini adalah sebagian interpretasi yang bisa kita peroleh dari Metamorfosis, yaitu bahwa setiap manusia terpenjara di dalam kehidupannya. Hal ini ditunjukkan Kafka dengan metamorfosa manusia (Samsa) menjadi binatang (Serangga) yang menjijikkan. Namun demikian, interpretasi tersebut akan melahirkan interpretasi-interpretasi berikutnya, karena tidak jelasnya pesan yang hendak disampaikan Kafka. Pembaca secara bebas boleh menafsirkan apa maksud Kafka dengan metamorfosis tersebut.
Di sisi lain, bisa jadi Kafka sebenarnya hanya ingin berimajinasi tentang pribadinya sendiri. Tapi, pembaca umum menganggap itu sebuah karya yang fenomenal. Bahkan Kafka mengatakan bahwa draft tulisan metamorfosis ini jelek dan menakutkan. Sehingga tidak patut untuk dibaca (hlm. Viii).
Ada sebagian yang mengatakan Kafka dipengaruhi oleh psikonalisis Sigmund Freud tentang kompleksitas keluarga. Disitulah digambarkan sosok Gregor yang terkurung dalam tubuh serangga raksasa yang sulit berkomunikasi dengan lingkungan keluarganya sendiri.
Dalam buku yang berjudul Truth and Method, Gadamer menggambarkan bahwa pemahaman manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Pemahaman berdiri sendiri di dalam subyek yang memahami. Pemahaman tidak bergantung kepada obyek. Setidaknya Kafka berada pada semangat Gadamerian ini. Ia menggelindingkan “bola” karyanya sehingga pembaca bebas menafsirkannya. Dalam perspektif Gadamer, penafsiran manusia itu bergerak melingkar. Tak ada kebenaran yang absolut di dalam memahami sesuatu.
Dalam interpretasi berikutnya, apa yang ingin disampaikan Kafka adalah jauh lebih filosofis. Akibatnya, pembaca dituntut untuk berpikir keras dalam memahaminya. Kita dapat menganalogikan serangga dengan manusia yang terkurung dalam alam semesta. Dengan demikian, Kafka telah mengembangkan filsafat dalam dunia sastra.
Kita juga diingatkan dengan karya Nietzsche. Dalam bukunya, Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche mengumandangkan kematian Tuhan dan Kebebasan Manusia yang dikenal dengan Ubermensch (manusia super). Nietzsche memperbanyak metafora dalam karyanya tersebut. Demikian juga karya Kafka, mirip dengan apa yang telah ditulis oleh Nietzsche. Hanya saja, bila Thus Spoke Zarathustra terkesan optimistis, maka dalam Metamorfosis ini terkesan pesimistis.
Setelah menghatamkan novel singkat Kafka ini, kita mungkin sempat mengharap sebuah ending yang bagus dibalik kematian Gregor Samsa di kamarnya. Namun alih-alih mendapatkannya, Kafka malah menjebak pembaca dengan berbagai macam pertanyaan yang sepertinya tak kan berkesudahan. Inilah kekuatan narasi novel Kafka yang sesungguhnya. Sebuah novel yang menantang pembaca untuk merenungi makna filosofis yang terkandung di dalamnya.
***
http://sastra-indonesia.com/2021/09/kekuatan-narasi-narasi-franz-kafka/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar