Jumat, 03 September 2021

ANTI-MUAL MACONDO©FORTE DARI RONNY AGUSTINUS

Dwi Pranoto *
 
“Tak seorangpun menulis untuk tulisan itu sendiri, tak seorang pun ngomong sekedar untuk omongan itu sendiri”. (Sismondi dalam Jacques Ranciere, Mute Speech, 2011)
 
Aku tidak punya ketertarikan khusus terhadap sastra Amerika Latin. Namun bukan bararti aku tidak membaca karya sastra Amerika Latin, meskipun hampir semua karya sastra Amerika Latin yang pernah aku baca, aku baca lewat terjemahan Bahasa Indonesianya. Paling tidak ada dua novel Amerika Latin yang saat mulai menulis ini aku ingat secara samar-samar, novel tentang tukang kaca di jalanan tandus Guadalajara dan buku harian seorang narapidana yang meringkuk di penjara Badajoz. Apakah aku tidak ingat Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel Garcia Marquez? Aku ingat. Namun novel itu baru aku baca setelah aku mendengar istilah “Boom” dan “Realisme Magis”. Ada perasaan jengah dan mual yang aku rasakan saat mendengar dua istilah itu. Istilah Boom dan Realisme Magis seperti menghamparkan padaku pemandangan hiruk-pikuk dan hingar-bingar pasar malam. Keramaian dan kegaduhan memang tidak pernah membuatku kerasan. Mungkin aku takut ditelan keramaian dan tidak menjadi siapa-siapa, tidak dikenali. Entahlah, bagiku, barangkali, lebih menantang menelusuri penulis seperti Stefan Tsanev. Lucunya, meskipun setelah bertahun-tahun berupaya memburu karya-karya penulis Bulgaria itu, aku baru membaca satu karya naskah drama yang ditulisnya: naskah terjemahan tak diterbitkan, ketikan tangan, drama tentang tokoh perempuan petani yang menghidupkan kembali Perawan Orleans dalam penjara berdinding batu Rouen dengan membaca baris-baris kalimat suatu naskah drama. Quixotic memang, tapi aku suka. Aku bukannya tidak berhasil mendapatkan naskah-naskahnya, beberapa aku mendownloadnya bila gratis. Masalahnya sedikit naskah Stefan Tsanev yang pernah aku punya itu semuanya berbahasa Bulgaria dan sebagian beraksara Sirilik. Kira-kira lebih setahun lalu, naskah-naskah itu lenyap bersama meletusnya mesin komputerku. BOOM!
 
Barangkali perasaanku terhadap istilah Boom dan Realisme Magis mengada-ada. Barangkali perasaan itu muncul karena betapa seringnya istilah itu aku baca dan aku dengar, bahkan sampai sekarang: berapa banyak pengarang Indonesia yang dibandingkan dengan dan dianggap dipengaruhi oleh karya sastra Amerika Latin generasi Boom atau dianggap mempunyai bentuk Realisme Magis? Mungkin Ronny Agustinus perlu menghitung. Barangkali aku tidak pernah menemukan atau malas mencari penjelasan yang cukup atau memuaskan kenapa generasi Boom lahir? Apa kaitan bentuk Realisme Magis dengan sejarah, budaya, politik, dan ekonomi kawasan sub benua Amerika bagian Selatan itu? Sebagian besar dari sedikit yang aku baca tentang bentuk Realisme Magis hanya berkisar dan mengulang-ulang tentang narasi novel yang membaurkan antara yang realis dan yang magis. Sedangkan istilah Boom sendiri cuma diterangkan sebagai ledakan karya sastra Amerika Latin tahun 60-an di kawasan dunia pertama yang berbahasa Inggris yang kemudian merembet menjadi tren Internasional.
 
Sore hari itu aku menerima kiriman Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal bersama tiga buku lainya dari Ronny Agustinus. Sebetulnya yang aku tunggu-tunggu adalah salah satu dari empat buku itu, buku yang paling tua dari ketiga buku lainnya, buku itu Border Country-nya Raymond Williams. Tapi bukan berarti aku sama sekali tidak tertarik dengan tulisan-tulisan upaya tentang seputar sastra Amerika Latin karya Ronny Agustinus itu. Saat pertama kali aku membaca berita di facebook bahwa Ronny menerbitkan buku yang berisi tulisan-tulisannya tentang sastra Amerika Latin, aku sudah berencana akan membacanya. Tapi orang itu kan memang “dot-nyeng”, belum tentu rencana yang pada awalnya diikuti dengan niat menggebu itu segera dieksekusi. Begitupun saat ia membuka bungkusan paket buku sore itu; bukannya ia antusias segera mencarik-carik halaman Border Country, ia malah menumpuk buku tua itu dengan dua buku lainnya dan mengambil Macondo, Para Raksasa, dan Lain-lain Hal untuk dibaca.
 
Mari kita lompati saja “Pengantar Penulis”, tulisan yang di beberapa bagian, entah kenapa, mengingatkanku pada seorang laki-laki muda kurus, berkacamata, berambut kusam panjang, dan dengan baju sobek yang memanjang dari ketiak ke bawah yang dilapis dengan sweater buluk, yang suatu saat di dalam taksi yang melaju mengajakku untuk tak menepati janji ketemu dengan seorang kawan kami.
 
Dua kutipan dari sastrawati Puerto Rico dan sastrawan Chile yang lahir di antara generasi Macondo dan McOndo yang membuka “El Boom dan Fiksi Amerika Latin Sesudahnya”, judul pertama dari “Macondo” yang merupakan bagian pertama dari tiga bagian buku, seperti memberi peringatan perihal semangat apa yang bakal menghidupi seluruh isi buku. Kebetulan atau tidak, Giannina Braschi dan Roberto Bolano sama-sama lahir tahun 1953; terlalu tua untuk masuk dalam generasi McOndo yang rata-rata lahir di akhir tahun 1960-an dan terlalu muda untuk masuk generasi Boom yang meledak tahun 1960-an – jika ingin tahun yang lebih tepat, menurut Ronny, tahun 1959 menyusul berhasilnya Revolusi Cuba. Pandangan Bolano yang menyinyiri sekaligus menghormati generasi Boom dan keterbukaannya “menemani” generasi McOndo yang mungkin dapat diekspresikan dengan bagaimana ia menyebut generasi Boom sebagai “grandpa” dan menyebut generasi pengekor realisme magis sebagai “retarded children”. Tentu saja generasi Boom tidak identik dengan realisme magis (“Macondo”), tapi secara tersirat, dengan menyebut para pengekor sebagai “retarded children”, Bolano boleh jadi menyokong generasi McOndo yang menyeru putus dengan generasi Boom, khususnya dengan bentuk realisme magis yang meskipun bukan ciri bentuk sastrawi total El Boom tapi, bagaimanapun, sangat mendominasi. Sebagaimana pernyataan Bolano yang dikutip Ronny, “Boom adalah konsep yang tak pasti”, begitu juga McOndo yang penolakannya atas konvensi tunggal sastra Amerika Latin membawa kecenderungan mencampurbaurkan yang tinggi dan “kacangan” dan karenanya juga menerima realisme magis yang ditolaknya. Dalam sub judul “Setelah Pasca Macondo”, Ronny memandang runtuhnya kediktatoran di sebagian besar negara-negara Amerika Latin mendorong sastra mengartikulasikan politik dari ranah privat dalam kehidupan urban yang kosmopolit. Sementara, dalam “Bukan Sekedar Macondo vs McOndo”, selain membela orientasi politis El Boom, Ronny juga memaparkan problem klaim konsep kekhasan sastrawi McOndo yang tidak teridentifikasi dalam karya-karya para pengarang gerakan itu. Ronny tidak membabi-buta membela kehebatan generasi El Boom.
 
Seperti Bolano, Ronny juga kritis menyoroti ketimpangan generasi El Boom, terutama tidak adanya pengarang perempuan dalam generasi tersebut. Kutipan puisi Giannina Braschi yang menjadi epigraf pada judul pembuka dalam buku ini seperti isyarat awal sokongan Ronny untuk gugatan pengarang perempuan atas kultur jantan dalam generasi El Boom. “Bukan Boom tapi B(l)oom”, yang mengapresiasi kiprah perempuan dalam sastra Amerika Latin, dan “Carmen Balcells: Di Balik Layar El Boom”, yang mengetengahkan perempuan hebat yang menggerakkan El Boom, cukup merepresentasikan gugatan atas kultur jantan tersebut. Namun, ironisnya, Giannina Braschi yang puisinya dikutip jadi epigraf dan penembakan narrator dalam puisi tersebut ditafsir sebagai “penolakan Braschi untuk disetir dalam warisan kanon boom” tidak aku temukan nama dan karyanya di “Daftar Bacaan”.
 
Barangkali penembakan narrator dalam “Manifesto on Poetic Eggs” memang penolakan untuk disetir kanon Boom. Tapi bunyi “Boom! Boom!” dan pemberitahuan “Ia mati. Ia mati. Mariquita telah membunuh Narator. Revolusi terjadi di The Intimate Diary of Solitude” hanya cangkeman. Tidak ada yang terjadi. Narator masih segar bugar. Empire of Dream, terutama bagian ketiganya – “The Intimate Diary of Solitude” – adalah a book of nothing. Pengulangan nama-nama dalam “The Intimate Diary of Solitude” mungkin meneladani pengulangan nama-nama yang membingungkan dalam Seratus Tahun Kesunyian, tapi pengulangan dalam puisi Braschi itu juga dikuti oleh pengulangan-pengulangan ruang dan waktu. Karakter-karakternya tidak pernah benar-benar menjadi “karakter” seperti dalam Seratus Tahun Kesunyian. Mariquita Semper, Uriberto Semper, Marquita Eisensweig, Uriberto Eisensweig, Berta Singerman, bahkan Giannina Braschi sendiri adalah avatar-avatar yang hidup dalam simultanitas ruang waktu panggung teater simulakra bahasa. Sampai pikiranmu kembung, kau tak bakal kelar mencerna secara semantik puisi Giannina Braschi tersebut. Daripada menjadi sapi yang berkali-kali memuntahkan apa yang kau cerna untuk kembali mengunyahnya sambil bengong-bengong, lebih baik kau membaca puisi Braschi tersebut dengan cara lain. “The Intimate Diary of Solitude” itu puisi arabesque, ia tak menggambar dengan kalimat – sudah pasti Braschi tak pernah ikut kursus menggambar dengan kalimat. Braschi menggambar dengan pola ritmik sebagaimana pola ritmik bentuk geometris atau natural yang mengisi bidang ornamen arabesque. Barangkali puisi-puisi Giannina Braschi tak dapat dilepaskan dari gerakan garda depan Diepalismo tahun 1921 yang dicetuskan oleh dua penyair Puerto Rico sebelumnya, Luis Pales Matos dan Jose I. de Diego Padro – Diepalismo merupakan akronim gabungan kedua nama tersebut – yang walaupun dikatakan diilhami oleh bunyi musik dan gerak tarian dalam kultur Afro-Antillean, tapi akarnya mungkin bisa dilacak sampai ke Stephane Mallarme. Tapi di sini kita tak akan membicarakan Giannani Braschi atau “The Intimate Diary of Solitude” lebih lanjut.
 
Sudah pasti aku tidak membaca karya Braschi atau karya-karya penulis Amerika Latin lainnya dalam bahasa Spanyol. Masalah penyimpangan atau reduksi tak mungkin dapat dihindari dalam proses penerjemahan dari bahasa pertama ke bahasa kedua, apalagi proses penerjemahan dari bahasa kedua ke bahasa ketiga. Masalah semacam ini tentu tak ditemui oleh Ronny yang menguasai Bahasa Spanyol. Penguasaan Bahasa Spanyol yang dimiliki Ronny, bagaimanapun, membuatnya dapat mengakses ke sumber-sumber langsung yang lebih melimpah dan nyaris tak terdistorsi mengenai kesusastraan Amerika Latin dan segala macam wacana yang berkaitan dengan kesustraan Amerika Latin. Keleluasaan dan tentunya ditunjang dengan ketajaman pikir inilah yang membuat Ronny mampu merekonstruksi dunia kesusastraan Amerika Latin dengan baik. Kesusastraan Amerika Latin, terutama generasi Boom, tidak dilihat dan dipaparkan sebagai pulau tersendiri yang terpisah dari, terutama, politik dan sejarah. Karya-karya pengarang generasi Boom dilacak sampai zaman generasi realisme-natural yang memperinci deskripsi etnografis dan pola narasi percintaan dalam kerangka kesadaran politik nasional hingga sejarah gerakan pembebasan militeristis Simon Bolivar menemukan momentum kebangkitannya sebagai kesadaran politik kawasan menyusul keberhasilan revolusi sosialis Cuba. Pada sisi lain,tokoh-tokoh legendaris, terutama pada bagian “Para Raksasa”, yang diletakkan dalam hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa personal yang penuh pasi dan “tersembunyi” membuat mereka menjadi benar-benar hidup dalam gagasan dan tubuh berdaging. Bagaimana, misalnya, raksasa Jorge Luis Borges yang saat itu sudah nyaris buta menerima undangan untuk mengajar murid-murid sekolah di daerah pelosok Argentina dan bahkan menyediakan diri untuk membaca dan menulis prolog kumpulan cerita murid-murid ingusan tersebut. Barangkali judul yang paling menarik bagi kita di Indonesia adalah “Mundo Nuevo: Kerja Antikomunis di Amerika Latin” yang bukan hanya menguraikan oparasi kultural CIA di Amerika Latin pun juga membandingkan sikap sejumlah sastrawan Indonesia, – seperti Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, dan Mochtar Lubis – yang menolak dianggap sebagai kaki tangan CIA lewat CCF dengan para sastrawan Amerika Latin yang merasa dikibuli dan terlibat mengibuli berkait kampanye kultural CIA sejenis.
 
Aku harus berterima kasih pada Ronny; Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal yang meletakkan El Boom dan Realisme Magis dalam perspektif jalinan kesusastraan, politik, budaya, dan sejarah kawasan seperti menjadi obat anti mualku terhadap sastra Amerika Latin, terutama istilah Realisme Magis. Tapi, omong-omong ke mana Augusto Boal ya, Ron; seorang dramawan Brazil yang pada masa pengasingannya di Argentina tahun 1970-an menyelesaikan dan menerbitkan Theatre of the Oppressed yang konsep pentransformasian spectators menjadi spec-actors dan konsep teater legeslatif di dalamnya mungkin berkaitan dengan Superbarrio Gomez?
 
31 Agustus 2021

*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah, tinggal di Jember, Jawa Timur. http://sastra-indonesia.com/2021/09/anti-mual-macondoforte-dari-ronny-agustinus/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons