Senin, 23 Agustus 2021

Octavio Paz dan Sajak “Tetangga Jauh”

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=501
 
Setiap penyair mempunyai pamor tersendiri, memancarkan kharisma masing-masing, menebarkan daya pikat sekuat pencariannya menyetubuhi hidup dalam kehidupan. Mereka berjenis-jenis burung mengisi hutan belantara, memadu kicauan, kadang berbentur saing, demi telinga yang menyusuri tapakan sunyi, menuju dataran tinggi kesaksian.
 
Dalam belantara kata bersimpan sejarah bersama kandungannya pelbagai pengetahuan, mengikuti putaran bumi mengelilingi matahari, memusari milenium cahaya, mendekami relungan kelam kemanusiaan. Renungan hari-hari peperangan, di antara berkabar pendapat, membagi-bagi bebijian perolehan, rasa buah-buahan, pula saling hadiahi berita ke tanah-tanah yang dipijaknya.
 
Ia yang hadir di penghujung abad dengan sayap-sayap berkilauan atas mempurnakan pendapatan abad silam-semilam akan cukup lama dikenang, jikalau aku masih ragu menyebutnya abadi. Atau yang mampu menjebol tanggul kebuntuan untuk paras cantik kebijakan dunia sealunan sejati rasa; keadilan demi kemakmuran bersama.
 
Paz, pemilik background antropologi, dengan leluasa menyinahui gejala-gejala terkandung dalam gerak peredaran bumi. Bacaannya yang menawan pada sejarah panjang perpuisian, dan menemui belahan-belahannya di berbagai negeri lain, cukuplah bisa meringkas sebagai pengetahaun tersendiri bagi jiwanya.
 
Ku kira gaya Paz membaca pelbagai keilmuan puitik seimbang, berusaha seobyektif mungkin demi tiada pemberontakan di kemudian hari. Ia penggal kebijakan kuasa, lewat memadukan harmoni berserakan sedari puing-puing kepurbaan direkatkan kemenjadian atas keadaan diri. Menempati pribadinya di sudut lapang serupa teaterawan telah akrab batasan panggung, serta jangkauan cahaya sejarah yang diyakininya.
 
Bersegenap pengetahuan diimani mampu menjelma kata-katanya menyihir. Atau diri memiliki keyakinan lebih itu, menujum yang diandaikan para penerusnya sudi mendengar setiap lekuk-liku ocehannya. Melalui esai-esainya ia tebarkan faham seolah pewaris abad 20 serta abad-abad sebelumnya, dan yang memberi pencerahan selanjutnya.
 
Tidak diragukan, yang langsung menelan tutur katanya tanpa curiga, sebab tersedot nilai-nilai kebenaran logika yang diusungnya, merasa jadi bagian sejarah kata-katanya. Tertarik bagaikan jarum terikat kuat pada lempengan magnet, imbasnya banyak corak perpuisian semodel pencarian di atas perolehan kepenyairannya.
 
Mereka terpedaya mengamini, mengusahakan diri sampai tetahap ditentukannya, seperti perkawinan silang burung-burung hampir sejenis menghasilkan bentuk percontohan, jenis Paz. Di sini tak menafikan beburung saling belajar, demi mempurnakan fitroh diembannya. Namun kukira seorang penyair bukan sejenis burung pentet, yang lihai memainkan suara-suara burung lain hingga lupa kodrat suara aslinya.
 
Kemarin diriku menziarahi percandian peninggalan kerajaan Majapahit, sambil jiwa ini teruapi bencah tanah tua nenek moyang, debu-debunya purbawi mengabarkan jalinan riwayat terus terdengar, bagi bathin senantiasa merawat kepekaan. Aku telusuri kembali siapakah Paz? Penyair yang meninggal di tahun 1998, di mana waktu tersebut aku sedang getol-getolnya membabat alas jiwa, perbanyak memuntahkan kalimah semasa di Jogjakarta.
 
Octavio Paz pernah berujar: “begitu banyak teori, dan tak satu pun yang benar-benar meyakinkan.”
 
Dan diriku yang dipenuhi keyakinan atas tapak langkah kaki seiring takdir diberikan, terpukau dengan karya-karya nun purna penggarapannya, meski dari seorang tak banyak kubaca guratannya. Adalah sepotong wajah, selembar puisi pun dapat dijelajahi masa-masa silam sang penyampai atas segala daya tercenung. Lalu perasaan sampai kala merasai kesaksiannya luar biasa bereaksi dalam tubuh seorang diri.
 
Kali ini aku petik buah puisinya yang bertitel:
 
TETANGGA JAUH
 
Semalam pohon abu
Nyaris bicara-
Tapi tak.
 
Dan entah di tahun berapa, aku mengguratkan jawaban puisi tersebut dengan pahatan penaku, bertinta warna merah sebagaimana di bawah ini:
 
JAWABAN NUREL
 
Sapaanmu meragukanku
diri
memendam rindu
dendam, cemburu.
 
Untuk puisi Paz di atas, aku dapatkan di buku berjudul OKTAVIO PAZ, Puisi dan Esai Terpilih, Penerjemah Arif B. Prasetyo, Cetakan Pertama, Mei 2002, Bentang Budaya Yogyakarta. Dan di bawah ini, aku kan mencoba meneruskan melalui sesirat karyanya tersebut, ke dalam bentukan penafsiran.
 
Tetangga Jauh:
 
Suara lain yang tak terdengar telinga jasad, tapi terngiang sekabar berita yang disampaikan angin perkiraan, musim cuaca rindu, kawasan terdekat akrab, namun masih punya sekat. Bukan jarak, tetapi serasa masa peralihan, wilayah penerjemah, di situ Paz berkehendak mensucikan tradisi puitika, seperti yang ia utarakan:
 
“Kita bukannya tengah mengalami akhir puisi seperti kata sebagian orang, tetapi akhir dari tradisi puitik yang dimulai Zaman Romantik agung: tradisi yang memuncak bersama para penyair Simbolis dan memasuki wilayah senjakala yang menakjubkan dengan datangnya kaum seniman garda-depan abad kita. Seni yang lain kini menyembul di ufuk fajar.”
 
Yang menujum punya pengharapan, akan berjubel penerima, yang menjual doa-doa semakin banyak mengamini, lantas puncaknya, jiwa dihisap digiring menuju jurang lamunan. Cita-cita melenakan tapak pencarian lama, yang disampaikan menjelma buah simalakama bagi melayarkan sampan pelita hatinya. Para pencari di belakangnya terpesona kilauan agung kalimah, silau gelap mata melangkah, terbentur lupa.
 
Tidakkah penyadaran berimbas kelupaan lainnya? Yang diterima sekarang, belum tentu berguna sama di kemudian. Seperti bisikan tetangga jauh, ataupun dokter mendiagnosa pasien, adanya kumandang berbeda dari obat-obatan; sugesti mencanangkan kesembuhan.
 
Pada gilirannya, penyampai ditinggalkan kehendak masing-masing pribadi, yang tidak puas mendedah bangsanya dari ahli bedah yang kurang dikenalnya. Maka awan perkiraan tiada lagi dijadikan tolak ukur dalam membaca pegunungan tinggi diliputi kabut. Namun atas seluruh daya mereka insaf menyimak sejarah pertikaian bangsanya, sebagai suara lain (para pencari setelahnya) sedari yang lain (suara Paz), dan tak berlaku sama meski adanya seirama.
 
Olehnya, pokok bukan pokok, sebab jiwa terbelah sejumlah tirai kabut yang melingkupi bathin tiap pencari. Sang nabi meneruskan jejak para nabi sebelumnya, kumandang itu menyempurnakan kehadiran lama, menancapkan tonggak lain di sisinya.
 
Atau gema suara universal selalu berkembang, lebih jauh dari keberadaan awal. Lewat menolak sisi-sisi melenakan, tak harus menunggu fajar, senjakala pun hadirkan gemintang. Makin tenang lagi hakiki berkumandang, di bencah bathin pelosok lain yang tidak terdengar.
 
Semalam pohon abu
 
: Sejarah dimumikan, mitos diucapkan ulang dari mulut ingin tersimak kekal, atas alam kekekalan yang diandaikan. Yang dilahirkan dinaya puitik, keringat berasal bacaan lama, bertapa meyakini siratan cahaya kesaksian dalam gua. Lalu keluar merasa telah dicernakan kediriannya, membawa yang dianggap mampu mensucikan sesamanya.
 
Ia genggam biji-bijian misalkan buliran jagung, ditebarkan di lahan-lahan diperkirakannya subur, sebagai penyimpan ide. Ia membelah kesilauan kabut, mengendap mengikuti laluan lawas, sambil membuat tapakan lain bagi kehadirannya; warna berbeda demi dianggap pencerah jaman sesudahnya.
 
Tidakkah kita curiga? Penanam jagung juga menyebarkan hama. Bersamaan tangannya memberi hasrat meneruskan salamnya? Jika kita tak mau mencium punggung jemarinya, meski yang digagas seolah berasal perkawinan silang, dari darah negeri kita pijak, nuanse puitik terhirup sehari-hari.
 
Yang pernah membelai membelah tubuh, bukan kepemilikan meski sedenyutan rasa, seperti ia merasai sendiri, kita pun menikmati. Kesendirian bulan sewarna muasal datangnya daya tarik, tapi yang mendengar suara sebelumnya, pula berdaya goda.
 
Laksana orang berjalan di atas bumi, dibutuhkan oleh orang-orang di bawahnya. Atau kematian memerlukan denyutan hidup sebagai saksi balasan, dan kesaksian tak harus mengamini.
 
Nyaris bicara-
 
: Paz yang mempercayai hadirnya sejenis wahyu turunnya puisi, seperti sabdo pandito ratu dalam istilah Jawa. Ia (:puisi) bukanlah kehendak untuk mengatakan sesuatu, melainkan sesuatu yang terucap, dan tak dapat ditarik kembali (Octavio Paz Lozano, lahir di Mexico 31 Maret 1914, meninggal tertanggal 19 April 1998).
 
Ada sisi kesamaan, antara penyair dengan seorang raja; medan pengalaman, kekuasaan benda, tanda, dan kesunyian paling dingin melebihi rasa hilangnya nyawa, kala kata-katanya tak mampu menggerakkan persendian jiwa. Lebih buruk dari memperistri budak paling hitam; hilangnya wibawa, sebab yang terucap tak terlaksana.
 
Paz melewati jalan berbisik. Menyusuri gelombang udara, kabar bayu pada daun-daun terjatuh, terus sembunyi menjadi misteri tiada terfahami, kecuali senada capaiannya terasa dangkal. Yang digemakan rahasia intinya hati, membuyar tak jadi kerahasiaan puitis. Seperti batu ditelanjangi alur waktu, ditarik ucapannya: “Nyaris bicara-”
 
Ada dinaya lain, hantu sesal serupa gadis telanjang di sebuah lukisan realis, senantiasa dijejali ruang-waktu menyungkup; gugusan takdir di ujung belati, sebentangan rambut dengan bayangnya memendar. Demikian wewarna lamat menyusuri jalur rahasia, benang melintang di depan mata, matahari selalu memancar, dan kedipan menyimpan suatu kecewa.
 
Penyesalan itu rahasia terungkap dari keangkuhan bicara melalui kata-kata. Makna hidupnya meminta jatah; adanya diingat, lebih banyak dilupa. Hanya bersuara lain yang sama darinya dapat berbangkit. Sayang kembali semula, begitulah kepada titik was-was dalam tanda hidup ke masa depannya.
 
Tapi tak
 
: Akhir yang meragukan. Betapa daya luar biasa, tinggal sejengkal saja, keraguan datang tiba-tiba menghakimi. Seayunan pedang melesat, tetapi sebelum menimpahi sasaran, ada secercah cahaya membuat hawatir. Aturan tidak terlihat; di mana perasaan memasok tenaga, hati menggerakkan kelenjar berkekuatan ke sebuah keinginan.
 
Jikalau dilukiskan, di ujung jalan tempatnya tega; kausalitas ngigirisi, sebab akibat yang mengandung gemas sekaligus cemas. Kesuntukan kesumat namun juga lenyap oleh angin lewat, ingatan yang terhapus.
 
Telempap lain, tumbuh igauan-igauan sejarah semakin merangsek di malam-malam dengan lampu terbatas, terus perbanyak jumlah di tempat remang, di sudut ruang, di tengah-tengah belukar yang tidak keluar.
 
Apa yang ditakutnya? Cemas dirinya lenyap di bawah terang benderang? Bayang-bayang gesit menyelinap, bukan kerja sugesti, atau demikian?

31 Agustus 2010  http://sastra-indonesia.com/2010/08/octavio-paz-dan-sajak-tetangga-jauh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons