Selasa, 16 Juni 2020

Fantasi Franz Kafka tentang Amerika

Peresensi: Sigit Susanto
Judul: Amerika
Penulis: Franz Kafka
Penerbit: Fischer Bucherei, 1956
Tebal: 232 halaman

Di kalangan pembaca Jerman, karya Kafka digolongkan karya berat. Mereka kadang menyebut karya Hesse atau Böll dianggap lebih ringan. Gaya bahasa Kafka sering disejajarkan dengan penyair klasik Jerman, Heinrich von Kleist.

Pada bacaan novel ini aku temukan sebuah teknik paralel penulisan antara novel: Proses dan Amerika. Pertama, Kafka menulis kedua novel di atas dengan membagi per bab. Kedua, kata ungkapan Kafka masih sama seperti pada Proses, suka menyebut kata benda seperti, lilin, topi, mantel. Kata benda itu begitu sering disebut di kedua novel yang berbeda. Tak hanya itu, dia sering sebut kata sifat, misalnya, gelap, lelah, payah, marah, dan malu. Nuansa yang dibangun sering mencekam dan benar-benar membuat pembaca berpikir dalam. Beberapa peristiwa terjadi secara kebetulan, baik di Proses maupun Amerika. Ada dua cerpennya yang dimasukkan ke dalam dua novel. Selain itu terdapat pembacaan sebuah surat. Sedang para tokohnya berasal dari kelas menengah ke kelas atas.

Misal:
1. Peristiwa kebetulan dalam novel Amerika
Karl Rossmann, (sang tokoh utama) adalah pemuda Jerman setamat SMA pergi ke Amerika naik kapal tenaga panas kayu bakar. Zaman Kafka dulu mungkin masih tradisional. Kayak kapal Titanic dengan tenaga kayu bakar. Pada kapal itu secara kebetulan, dia bertemu tokoh bernama Jakob, seorang senator kaya dari New York yang ternyata adalah pamannya. Rosmann langsung tinggal di pamannya. Dia kursus bahasa Inggris, belajar orgen, belajar naik kuda ala orang kaya. Di sini lah letak peristiwa kebetulan bertemunya antara keponakan dan paman sangat mencolok sekali.

2. Pembacaan surat
Dalam Proses dan Amerika, ada sebuah surat yang dibaca keras oleh salah satu tokoh. Model sisipan surat dalam novel ini ada juga pada karya Flaubert (Madame Bovary dan Education Sentimentale). Tapi aku menilai, tehnik Kafka menampilkan surat di novel lebih cerdik ketimbang Flaubert. Pada Proses, tokoh paman benar-benar berteater dengan membacakan isi surat kepada Josef K. Surat benar-benar dibaca secara peragaan ini yang jarang terjadi.

3.Cerpen masuk novel
Pada Proses ada cerpen Kafka berjudul: Di Depan Hukum (Vor dem Gesetz), masuk bab:7. Pada Amerika, ada cerpen Kafka berjudul Tukang Pemanas/Bakar Kayu (Der Heizer) untuk tenaga kapal, juga masuk pada Amerika bab: 1.

4.Tokoh kelas menengah atas
Ketika aku mengelilingi rumah-rumah Kafka di Praha tahun 2002 dulu, aku belum baca dua novel ini. Saat itu terbersit di pikiran, “Bagaimana Kafka menuliskan sang tokoh, kalau dia hidup dengan fasilitas mewah begini. Sedang Hermann Kafka, ayahnya punya banyak toko dan gedung megah, kecuali adiknya perempuan Ottla, memang rumahnya agak kecil. Nah...setelah baca dua novel ini, aku tahu tokoh Josef. K dalam Proses sebagai pejabat tinggi di bank dan tokoh Karl Rossmann pada Amerika, sebagai anak muda yang pamannya seorang senator kaya.

Salah satu adegan dahsyat dalam novel Amerika ini, menurutku ketika suatu hari Karl Rossmann ingin bertamu ke rumah Mr. Pollunder, kawan paman Jakob. Di tengah malam bertamu dan disambut oleh Klara, anak perempuan Mr. Pollunder. Klara menarik-narik Karl untuk diajak masuk ke kamarnya bermain orgen. Tapi Karl ragu-ragu dan malu-malu, bahkan terjadi cekcok dari hal sepele. Akhirnya cewek tersebut ngambek di dalam kamar, tapi pintunya tak ditutup, masih mengharap Karl bisa masuk. Eh...si Karl bukan masuk, malah lebih asyik ngobrol di dapur dengan pembantu. Karl ngotot akan kembali ke rumah pamannya.

Datanglah Mr. Green, sahabat Mr. Pollunder dan paman Jakob. Mereka ngobrol tentang bisnis. mendekati pukul 24.00 ketika Karl bersitegang akan kembali ke paman Jakob, tengah malam itu Karl terpaksa masuk kamar Klara. Eh... di situ disuruh main orgen, tengah malam. Karl main orgen dengan ritme lagu militer. Karl agak kaget, ternyata Klara sudah kawin dan di kasur sebelah tergeletak Mr. Mack, guru Karl naik kuda.

Tiba-tiba Mr. Green menyodorkan surat dari paman Jakob. Nah...Karl membacanya dan isinya, kalau paman Jakob mempersilakan Karl pergi untuk selamanya dan tak perlu kembali lagi. Isi surat yang tiba-tiba bernada mengusir ini, yang menurutku dahsyat. dan Karl hanya dibekali tiket kereta api kelas 3 oleh Mr. Green. Akhirnya Karl hidup menggelandang di New York.

Satu hal yang perlu dicatat, banyak penulis mengambil latar cerita dari kota/negeri asing. meskipun penulisnya tak pernah ke situ. Seperti Kafka ini tak pernah ke New York. Dia hanya memfantasikan Amerika. Kafka tentu belajar sedikit geografi kota New York dan karakter orang Amerika, baik kultur maupun tempat-tempat. Kafka rasanya dalam novel ini, tdk banyak mengekpos tempat, agar tampak gamblang latar Amerikanya. Namun dia menuliskan karakter orang Amerika dan nuansanya cukup piawai. Contoh lain penulis besar yang tidak pernah mengunjungi objek yang ditulis adalah Bertolt Brecht. Dia juga belum pernah ke Surabaya, tapi dia nulis lagu Surabaya Johny. Dan masih banyak contoh lain. Dari sini bisa diambil pelajaran, ternyata menuliskan latar kota/negara asing, tak harus nama jalan atau kota dipaparkan lebih detil, tapi karakter manusia dan nuansa sudah bisa mewakili.

Ada catatan akhir, jelang tamatnya novel ini. Tokoh protagonis Karl Rossman, setelah hengkang dari rumah Klara, hidup di jalanan dengan dua orang kenalan baru; Robinson asal Irlandia dan Delamarche dari Perancis. Keduanya hidup menggelandang tidur di taman-taman.

Suatu pagi tas milik Karl Rossmann terbuka dan foto milik orang tuanya hilang. Ketiga anak muda cekcok dan berpisah. Di sini aku tidak habis pikir, begitu pentingkah sebuah foto orang tua? Sehingga Karl tega meninggalkan kawan-kawannya. Berdasar pengalamanku pribadi bergaul dengan kawan-kawan barat, ternyata kawan-kawan dari kultur Balkan, Eropa Timur, sering mengantongi foto keluarga di dompet mereka. Pada kesempatan yang memungkinkan foto-foto itu ditunjukkan ke aku. Tradisi ini tidak pernah kujumpai pada kawan-kawan di Eropa barat, khususnya Jerman dan Swiss.

Dalam proses penggelandangannya itu, Karl diterima di sebuah hotel Occidental. Pimpinan tukang masaknya seorang perempuan menawari kerja Karl. Dan Karl kerjanya unik sebagai tukang menekan tombol membukakan lift tamu-tamu hotel. Memang kenyataannya begitu di hotel-hotel besar, kadang ada petugas yang kerjanya hanya berdiri di depan lift untuk memencet tombol dan membantu mengantar tamu ke kamar hotel.

Karl disayang oleh ibu pimpinan masak di hotel itu. Lagi-lagi Kafka membuat cerita berunsur kebetulan. Ibu itu berasal dari Wina, Austria dan mengaku pernah tinggal di Praha, tempat asal Karl (juga sebenarnya asal Kafka sendiri). Dan anehnya ibu itu mengaku pernah tinggal setengah tahun di Praha, tepat di Gang Golden. Untungnya....saat aku ke Praha dulu, sempat tengok ke Gang Golden, ternyata di situ rumah Ottla, adik perempuan Kafka. Dari sumber lain disebutkan memang Kafka suka rumah kecil itu dan sering tinggal di rumah adiknya itu berlama-lama. Bagi pembaca yang belum baca biografi Kafka atau belum tahu alamat adik Kafka di Gang Golden, tentu tak menyadari, kalau alamat itu merupakan faktor kebetulan yang disengaja Kafka. Barangkali Kafka ingin mengabadikan bekas tempat tinggal yang disukai. Kasus ini mirip Gabriel Garcia Marquez mengabadikan desa Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian.

Kafka memang suka simbol. Nama Karl Rossmann, bisa disimbolkan namanya sendiri K dengan Kafka. Di hotel itu ada cewek sebayanya bernama Therese. Karl suka bersahabat dengan cewek itu. Namun selalu saja ada batas, rintangan dan jarak yang penuh teka-teki. Ketidak mampuan tokoh utama menjalin hubungan dengan perempuan juga digambarkan lebih kental pada novel Proses, dimana tokoh Josef. K juga gagal menjalin hubungan dengan tiga cewek. Pada novel ini Therese, digambarkan sebagai gadis pemalu.

Lalu problem menimpa Karl. Dia dipecat oleh pimpinan bagian porter, alasannya sungguh sepele. dia meninggalkan lift sebentar ditambah problem, dia tak menyapa pimpinan porter. Karl dipecat dengan ramuan dialog alot penuh nilai kemanusiaan yang rumit. Kemudian Karl hidup sebagai pembantu di rumah penyanyi bernama Brunelda, pacar Delamarche. Sebelum di sini Karl sempat dikejar-kejar polisi kota serta lari, akhirnya bersembunyi. Terakhir Karl melamar sebagai petugas di teater Oklahoma.

Pada suasana seperti ini ditaburi banyak adegan dialog konyol dan tak masuk akal. Misalkan: Polisi saat akan menangkap Karl, Karl mengaku tak punya surat identitas diri. Ketika Karl akan melamar di teater Oklahoma, yang dicari pegawai lulusan insinyur. Untuk mengelabuhi permintaan di lowongan kerja tersebut, Karl mengaku, “Ya aku insinyur.“ Setelah ditanya, “Kok insinyur masih muda sekali” (ca.20 tahunan). Dia bilang, “Baru akan jadi insinyur.” Apa tidak konyol?

Max Brod yang menulis kata pengantar akhir novel ini mengatakan, “Memang tak ditemui kronologi cerita, seperti 2 novelnya yang lain Proses dan Kastel.”

Kesanku secara keseluruhan, kekuatan Kafka tetap pada struktur kalimat yang banyak teka-teki dan keraguan, ketakutan, kegelapan dan serba lemah, tanpa perlawanan frontal. Pemilihan kata yang berkadar kebimbangan itu sering membentuk metafor yang kuat.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons