Minggu, 07 Juni 2020

PERIHAL VALIDASI DAN SANGGAHAN, BUKTI DAN HOAX

Ahmad Yulden Erwin

“[I said to myself], you never can make a lawyer if you do not understand what 'demonstrate' means; and I left my situation in Springfield, went home to my father’s house, and stayed there till I could give any proposition in the six books of Euclid at sight. I then found out what 'demonstrate' means, and went back to my law studies.” --Abraham Lincoln, the 16th President of the United States.

1/
Setiap teori ilmiah (baik dalam bidang ilmu alam atau humaniora) selalu tentatif dan terbuka untuk sanggahan. Tentatif artinya sementara, tidak absolut benar, hingga ada teori lain yang menyanggahnya. Sedangkan satu sanggahan adalah satu upaya logis untuk membuktikan bahwa ada hal yang salah dalam satu argumen atau teori. Jika seseorang menyebut Anda pembohong, maka Anda mungkin harus memberi sanggahan dengan membuktikan bahwa Anda mengatakan hal yang sebenarnya. Reductio ad absurdum (reduksi absurditas atau argumen absurd), di dalam logika, adalah satu bentuk sanggahan atau sering disebut "disproof". Upaya disproof itu dilakukan dengan menunjukkan bahwa konsekuen dari satu silogisme hipotetis tidak masuk akal; atau dengan menunjukkan bahwa negasi dari proposisi atau silogisme tertentu mengarah pada kontradiksi. Kenapa kontradiksi ditolak di dalam logika? Sebab kontradiksi melanggar prinsip non-kotradiksi di dalam logika dan bisa menimbulkan "prinsip ledakan" (dari satu silogisme yang mengandung kontradiksi dapat ditarik kesimpulan apa pun atau absurd). Misalnya: "Saat ini saya sedang ada di rumah dan sedang ada di pasar, maka kesimpulannya buah mangga itu manis." Itu contoh silogisme absurd akibat dari adanya prinsip ledakan di dalam logika.

Para "kritikus gadungan" di sini, sungguh sangat menyedihkan, tidak bisa membedakan per definisi dan operasional antara "validasi" dengan "sanggahan". Mereka seringkali menyatakan bahwa pernyataannnya valid (validasi), dengan membuktikan kesalahan dari satu argumen orang lain (sanggahan). Mereka tidak paham bahwa "proof" dalam validasi bukanlah "disproof" dalam sanggahan. Baik proof maupun disproof memiliki metode pembuktian logisnya sendiri. Kalau mau lebih jelas soal ini, maka baca buku "Sophistikoi Elenchoi" (Sanggahan untuk Argumen Kaum Sofis) dari Aristoteles. Buku ini adalah karya standar keenam dari rangkaian pembahasan tentang logika oleh Aristoteles, yang biasa dikenal sebagai Organon. Buku Sophistikoi Elenchoi terdiri dari 33 bab yang berupaya membuktikan dengan cara disproof bahwa argumen-argumen kaum sofis tidaklah logis, tetapi merupakan satu kesalahan dalam berargumen, dan bahkan cenderung menjadi semacam penipuan.

Saya ingat sekira dua atau tiga tahun lalu saya sudah membagikan e-book "Organon" karya Aristoteles di akun Facebook saya. Namun, sayangnya, para kritikus gadungan dan pengikutnya tak menganggap hal itu penting, apa lagi membacanya secara sungguh-sungguh sebagai studi. Mereka lebih senang menggunakan logical fallacy dan klaim-klaim kosong dalam berpendapat hingga menghasilkan tulisan-tulisan ngawur. Mereka sama sekali tidak malu menunjukkan kebodohan mereka di depan publik dan menyangka racauan tertulis yang mereka klaim sebagai kritik itu sudah valid, sudah benar. Mereka bahkan tak paham apa yang dimaksud dengan validitas dalam berargumen. Nampaknya, urat malu mereka memang sudah putus dan harga diri mereka telah dijual dengan sangat murah. Saya khawatir mereka sedang menuju ketidakwarasan.

"Organon" karya Aristoteles dan "The Elements" karya Euclid sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau belum? Jika belum, betapa menyedihkan dunia literasi di Indonesia sehingga karya klasik (tentang cara berpikir manusia) yang ditulis 2300 tahun lalu di Yunani hingga saat ini belum juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dua karya klasik itu telah diterjemahkan dalam berbagai kebudayaan dunia yang maju, seperti kebudayaan Romawi, kebudayaan Islam pada abad ke-9, kebudayaan Eropa pada abad pertengahan, kebudayaan pada Era Restorasi Meiji di Jepang, hingga kebudayaan modern dunia pada abad ke-20. Namun, sampai saat ini saya belum juga menemukan terjemahan kedua buku klasik itu secara utuh ke dalam bahasa Indonesia, bahkan hingga abad ke-21. Wajar, bila hingga saat ini "sesat pikir" bisa begitu marak di Indonesia. Pembodohan adalah cara paling cepat untuk berkuasa di antara para budak.

Nah, pada awal esai ini sudah saya tunjukkan bagaimana Abraham Lincoln, presiden USA paling lagendaris, presiden yang membebaskan masyarakat Amerika Serikat dari perbudakan, justru telah membaca buku The Elements karya Euclid sejak ia masih muda. Ia amat mengagumi buku ini dan terus membacanya ketika telah menjadi presiden ke-16 USA untuk melatih kemampuannya berpikir logis. Dalam buku "The Elements" ia menemukan cara bagaimana "membuktikan" sebuah argumen logis. Buku ini adalah buku tentang geometri klasik sebenarnya, namun 441 dalil teoritiknya disusun hanya berdasarkan 5 postulat dan 5 aksioma (common notions kalau dalam istilah di buku The Elements), menurut saya, sungguh "proofs" (pembuktian logis) yang artistik, "simetri" di dalam argumennya mirip sebuah puisi epik klasik.

Pemahaman soal simetri dalam buku The Element ini telah memengaruhi juga dunia seni rupa, musik, arsitektur, sastra, dll. Di dalam seni rupa contohnya, Paul Cezanne, pelopor seni lukis post-impresionis yang disebut oleh Pablo Picasso sebagai Bapak Seni Rupa Modern Dunia, bertahun-tahun membaca dan menekuni "The Elements" hingga akhirnya Paul Cezanne berhasil merumuskan teknik "dua perspektif"-nya yang terkenal itu. Teknik dua perspektif inilah yang kemudian merevolusi paradigma estetika para pelukis modern dunia seperti Pablo Picasso, Henri Matisse, Modigliani, Vincent van Gogh, dll.

Buku Organon (dalam bahasa Yunani berarti "cara" atau "alat") adalah kumpulan enam tulisan karya Aristoteles tentang logika klasik. Apa yang kita kenal sekarang sebagai logika klasik adalah bersumber dari buku ini. Pada bagian ke-6 Aristoteles juga membahasa bagaimana mengatasi soal logical fallacy dalam berpikir. Buku ini menjadi dasar bagi buku selanjutnya karya Aristoteles yaitu "Rhetoric" dan "Poetic". Jadi, kalau sampai sekarang buku klasik ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, rasa saya, sungguh amat menyedihkan. Sebagian besar kita belum tahu apa sebenarnya berpikir itu, apa aturan berpikir, dan bagaimana menghindari sesat pikir. Padahal ini sudah dirumuskan sejak 2300 tahun lalu dan telah memengaruhi berbagai peradaban dan kebudayaan yang maju di dunia dari zaman ke zaman.

2/
Seseorang pernah bertanya kepada saya di inbox FB: "Apa hubungan logika dengan puisi? Bukankah puisi itu senyatanya tidak logis?"

Saya menjawabnya: "Kata siapa puisi tidak logis? Apakah kamu pikir penyair itu orang gila dan puisi setara dengan racauan? Puisi bukan tidak logis, bukan a-logic, tetapi melampaui logika atau beyond logic. Pahamkah?"

Ia jawab: "Tidak."

Saya terangkan lagi: "Jika kamu tidak paham dengan matematika apakah itu berarti kamu sudah melampaui ilmu matematika?"

Ia jawab: "Tidak. Itu artinya saya memang tidak paham matematika."

Saya terangkan lagi: "Nah, itu bedanya antara a-logic dan beyond logic. Seseorang yang beyond logic bukan orang yang tidak paham logika, tetapi pemahamannya memang terbukti telah melampaui logika. Pahami dengan benar kata 'terbukti' itu dalam konteks logika. Jika ada orang yang menantang untuk membuktikan pendapatnya dengan logika, maka ia bisa membuktikan pendapatnya itu dengan logis. Tetapi, seorang yang tidak paham logika dan mengklaim pemahamannya sudah melampaui logika, maka ketika ditantang orang lain untuk membuktikannya, ia pasti tak akan bisa membuktikannya. Klaimnya itu hanya klaim kosong untuk menutupi ketidakpahamannya tentang logika."

Ia bertanya lagi: "Lalu apa hubungannya dengan puisi?"

Saya jawab: "Tentu ada. Makna satu kata itu, seperti yang ada di dalam kamus misalnya, dibangun oleh prinsip korespondensi di dalam logika Aristoteles dan atau prinsip koherensi di dalam logika simbolis. Metafora sebagai bagian dari stilistika puisi juga dibangun oleh prinsip kemiripan yang bersandar pada prinsip korespondensi dalam logika Aristoteles. Lalu, soal sintaksis, itu juga punya dasar logika, seperti yang ada dalam prinsip-prinsip logika modern (simbolis, kalkulus predikat, logika intuisionis, logika modalitas, dll.), dengan kata lain, semua itu punya dasar logikanya. Yang jadi soal, sebagian besar orang yang mengklaim dirinya penyair di sini, menganggap logika itu bertentangan dengan puisi oleh sebab ia memang tak paham logika. Itu saja soalnya."

Ia bertanya lagi: "Bagaimana dengan soal ambiguitas di dalam puisi?"

Saya jawab: "Ambiguitas tidak lahir dari kekacauan berpikir atau kesalahan sintaksis, tetapi justru lahir dari sistem pemaknaan. Makna satu kalimat puitis bisa merangkum berbagai makna lainnya, baik yang tersirat maupun tersurat, secara serentak, tetapi musti tepat. Itu sebabnya saya katakan bahwa puisi itu beyond logic, bukan a-logic. Tidak mungkin membuat ketepatan pemaknaan bila a-logic. Pahamkah?"

Ia menjawab: "Belum."

Saya berkata: "Kalau begitu, dilanjutkan lain kali saja. Saya sudah mengantuk."

3/
Logika itu bukan ilmu yang mengawang-ngawang, tetapi justru ilmu "alat" yang bisa dipakai untuk dapat berpikir benar, ilmu yang praktis sekali, dan bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Ilmu logika sudah ada sejak 2500 - 2300 tahun lalu, ilmu yang sudah kuno sekali, dan tetap dipakai hingga kini baik dalam bidang agama, sains, filsafat, teknologi, hingga seni. Namun, sayangnya, bahkan buku klasik tentang logika seperti "Organon" karya Aristoteles dan "Stoicheia (The Elements)" karya Euclid belum diterjemahkan hingga kini ke dalam bahasa Indonesia.

Berulang saya sudah mengatakan hal tersebut di Facebook dan tulisan-tulisan saya. Berulang pula saya sudah menyatakan bahwa kebudayaan bukan semata soal "artefak", tetapi sejak Epik Gilgamesh dituliskan pada 12 tabula di Babilonia (sekira 3200 tahun lalu), orang sudah menyadari bahwa kebudayaan pada intinya adalah perihal kemampuan berpikir dengan benar dan itu bisa tercermin dalam kemampuan menulis dengan benar.

Yang paling bikin jengkel di media sosial, seperti di Facebook saat ini, adalah munculnya golongan "megalomania oon"--yaitu golongan yang merasa sok tahu satu hal, tanpa benar-benar memahami soalnya. Kenapa itu bisa terjadi? Saya menduga karena mereka memang tidak mampu membaca teks filosofis atau sains dengan logis (atau bahkan memang tidak berminat membacanya), kecuali hanya curi-curi baca dari status orang lain di Facebook, dan tak mau berdiskusi perihal itu dengan sungguh-sungguh. Mereka cenderung mencomot-comot istilah sains atau filsafat, tanpa benar-benar memahami bagaimana konteks istilah itu secara teoritik dan pragmatik, pula bagaimana sejarah epistemologinya.

Plato (428 - 348 SM), satu tokoh terpenting filsuf Yunani pada masa lalu, pernah menulis buku dalam bentuk dialog tentang kaum sofis, berjudul "Sophist" (bahasa Yunani: Σοφιστής; Latin: Sophista; Indonesia: Sofis). Buku ini kemungkinan besar ditulis oleh Plato pada tahun 360 SM. Tema utamanya adalah mengidentifikasi perihal "sofisme" dan bagaimana seorang sofis berbeda dari seorang filsuf atau negarawan. Buku ini, termasuk juga buku lain dari Plato yang berjudul "Protagoras", telah mengungkap perihal kerapuhan argumen kaum sofis tentang relativisme kebenaran--sebuah prinsip berpikir yang dipegang oleh kaum sofis waktu itu. Plato mengatakan di dalam Protagoras bahwa para Sofis merupakan “pemilik kedai yang menjual barang rohani”. Selain Plato, Aristoteles juga pernah menulis buku yang berjudul "Sophistikoi Elenchoi" (Sanggahan bagi Kaum Sofis). Buku tersebut dengan gamblang membuktikan kesalahan kaum sofis dalam berargumen.

4/
Sebuah bukti selalu terkait dengan prinsip-prinsip kebenaran di dalam logika. Di dalam sains, juga hukum, pembuktian suatu hipotesis atau argumen diberikan kepada pihak yang membuat pernyataan--sesuai prinsip beban pembuktian atau "the burden of proof". Sampai saat ini ada empat jenis pembuktian berdasarkan prinsip kebenaran (kriteria kebenaran) yang lazim digunakan di dalam sains maupun hukum (saya urutkan berdasarkan hirarki atau urutan tingkat kebenaran), yaitu:

1. Prinsip korespondensi. Di dalam prinsip ini proposisi mesti berhubungan (bersesuaian) dengan fakta-fakta material di dalam realitas. Pembuktian jenis ini disebut pembuktian material.

2. Prinsip koherensi. Di dalam prinsip ini proposisi mesti berhubungan dengan teori-teori yang telah diuji kebenarannya oleh para pakar yang berkompeten di bidangnya dan valid secara argumen berdasarkan hukum-hukum logika. Pembuktian jenis ini disebut pembuktian formal.

3. Prinsip pragmatis. Di dalam prinsip ini proposisi mesti disepakati kebenarannya oleh sebanyak mungkin pakar yang berkompeten dan berintegritas di bidangnya setelah proposisi itu diuji berdasarkan prinsip korespondensi dan prinsip koherensi.

4. Prinsip falsifikasi. Di dalam prinsip ini kebenaran sebuah proposisi akan terus belaku kecuali, jika dan hanya jika, bisa dibuktikan kesalahannya lewat tiga prinsip pembuktian sebelumnya. Prinsip pembuktian ini saya sebut prinsip pembuktian dinamis.

Contoh perihal pembuktian ilmiah di dalam fisika modern, misalnya, adalah teori relativitas umum Einstein. Pada tahun 1911 Einstein mempublikasikan makalah ilmiahnya yang berjudul, "On the Influence of Gravitation on the Propagation of Light". Dalam makalah ilmiah setebal sepuluh halaman buku itu, Einstein meramalkan bahwa cahaya dapat dibelokkan oleh medan gravitasi. Namun, baru pada 15 November 1915, di dalam makalah ilmiah yang berjudul "On The General Theory Of Relativity", Einstein menyelesaikan pembuktian formalnya secara lengkap. Di dalam pembuktian formalnya itu, Einstein berkesimpulan bahwa ruang-waktu bersifat lengkung, artinya kehadiran massa dari suatu benda dapat melengkungkan ruang-waktu di sekitarnya. Misalnya, jika ada cahaya bintang yang melewati sebuah benda masif di langit seperti matahari, maka teori relativitas umum Einstein memprediksi bahwa cahaya bintang itu akan dibelokkan di sekitar matahari. Membeloknya cahaya bintang itu bukan disebabkan oleh gaya gravitasi matahari seperti di dalam teori gravitas Newton, melainkan karena ruang-waktu di sekitar matahari tersebut memang melengkung.

Pada waktu itu, banyak fisikawan yang menganggap hipotesis relativitas umum Einstein itu hanya sebuah makalah ilmiah tanpa "references", tanpa "acknowledgement"--sebuah makalah yang seolah nampak sebagai permainan matematika belaka, tanpa bisa dibuktikan dalam kehidupan nyata (pembuktian material sesuai prinsip korespondensi).

Pembuktian material terhadap teori relativitas umum Einstein baru terwujud ketika Sir Arthur Eddington, fisikawan dan astronom dari Universitas Cambridge, melakukan pengujian berdasarkan prinsip korespondensi terhadap teori relativitas umum Einstein pada tahun 1919. Eddington berkeyakinan bahwa setiap teori ilmiah yang diajukan harus dapat dibuktikan di dunia nyata. Untuk itu Eddington melakukan ekspedisi ke daerah Principe, Afrika, satu tempat yang dianggap terbaik untuk mengamati secara langsung gerhana matahari total pada masa itu. Hasilnya, Eddington mendapatkan bukti material bahwa cahaya bintang memang dibelokkan di sekitar matahari sesuai prediksi teori relativitas umum Einstein. Dan bukti yang ditemukan oleh Eddington itu merupakan bukti material dari teori relativitas umum yang menyatakan bahwa kelengkungan ruang-waktu empat dimensi disebabkan oleh adanya materi masif seperti matahari.

Hasil pembuktian material dari Sir Arthur Eddington terhadap teori relativitas umum tersebut kemudian diuji oleh para fisikawan lainnya (pembuktian pragmatis). Dan mereka menemukan hasil yang sama. Maka, setelah melewati pembuktian pragmatis tersebut, teori relativitas umum dari Albert Einstein baru diakui sebagai teori ilmiah di dalam sains fisika. Hingga saat ini teori relativitas umum Einstein masuk menjadi salah satu teori fisika yang dipelajari secara resmi pada universitas-universitas di seluruh dunia.

Meski demikian, teori relativitas umum Einstein bukanlah teori absolut tentang gravitasi. Sebab, berdasarkan prinsip falsifikasi, teori relativitas umum hanya berlaku sebagai kebenaran ilmiah sejauh belum ada yang bisa membuktikan kesalahannya (prinsip pembuktian dinamis).

Jadi, bicara perihal bukti dan pembuktian di dalam sains itu bukanlah perkara mudah, bukan perkara suka-suka, sebab perihal tersebut adalah pondasi di dalam sistem ilmiah. Begitu pula menurut saya dalam soal hukum. Anda tidak bisa menuduh orang secara sembarangan telah melakukan pelanggaran moral dan atau tindak kejahatan tertentu tanpa bukti. Bila Anda menuduh orang tanpa bukti (berdasarkan prinsip-prinsip pembuktian di atas), maka Anda dapat diduga telah melakukan tindakan tak bermoral atau kejahatan, seperti memfitnah orang lain, yang memiliki konskuensi hukum. Bergosip juga kebanyakan adalah sebuah tindakan bergunjing yang tak berdasarkan bukti dan cenderung pada fitnah. Jadi, jika ada seseorang yang mengklaim dirinya budayawan atau ilmuwan atau sastrawan tetapi sering memfitnah dan bergosip (baik di medsos maupun dunia nyata), maka besar kemungkinan ia adalah seorang "immoral". Fitnah dan gosip dan hoax bukanlah argumen logis.

5/
Sulap dan hoax itu sama sebenarnya, yaitu sama-sama bertolak dari kebohongan atau ketidakbenaran. Bedanya, hoax disebarkan sebagai kebohongan dengan tanpa disadari oleh targetnya sebagai kebohongan; sedangkan sulap dihadirkan sebagai kebohongan dengan disadari oleh targetnya sebagai kebohongan, sebagai semacam trik, dan kebohongan itu justru diharapkan oleh targetnya sebagai hiburan.

Sejak berabad lalu di Eropa hoax telah jadi semacam kritik yang keras, ketika berbagai saluran kritik yang efektif sudah macet atau mendekati macet, dengan menggunakan semacam permainan humor intelektual. Jadi, syarat orang yang bisa membuat hoax adalah memang orang yang benar-benar mumpuni menguasai bahan yang akan dibuat menjadi hoax, sehingga targetnya tak akan menyadari bahwa itu hanya semacam hoax belaka

Hoax berbeda dari ujaran kebencian, fitnah, berita bohong, atau yang sejenisnya. Kenapa? Karena tujuan hoax sebenarnya adalah sebagai sebuah kritik yang konstruktif menurut keyakinan si pembuat hoax dengan menggunakan medium satire atau parodi atau humor atau, bahkan, menggunakan terminologi religiusitas dan sains. Dengan kata lain, hoax sama sekali bukan sebuah propaganda atau agitasi atau provokasi yang destruktif.

Pada tahun 1996 di Amerika Serikat, Prof. Alan A. Sokal, seorang profesor fisika dari Universitas New York, hendak menguji (mengkritik) pendekatan studi budaya (cultural studies) postmodernisme yang dianggapnya mengabaikan dasar-dasar objektif sains dan cenderung sembarangan dalam menilai satu studi ilmiah. Untuk membuktikan hal itu Sokal kemudian membuat satu makalah "hoax ilmiah" yang berjudul "Melampaui Pembatasan: Menuju Hermeneutika Transformatif dari Gravitasi Kuantum"--teks aslinya saya lampirkan pada kolom komentar yang pertama pada status ini. Setelah makalah hoax itu selesai dibuat, selanjutnya Sokal menyerahkan makalah itu pada editor jurnal "Social Text" (dipublikasikan oleh Duke University Press), sebuah jurnal studi budaya postmodernisme yang cukup terkenal di AS saat itu.

Makalah hoax yang memang tak masuk akal itu (bila Anda memang memahami teori fisika kuantum), setelah mengalami beberapa kali revisi, akhirnya diterbitkan juga oleh jurnal "Social Text". Tak berapa lama setelah penerbitan makalah hoax tersebut, Sokal mengungkapkan dalam jurnal Lingua Franca bahwa makalahnya tersebut adalah sebuah hoax. Skandal hoax ini menjadi berita halaman depan di The New York Times pada tanggal 18 Mei 1996. Sokal menanggapi kritik dari para pendukung pemikiran kiri dan postmodernis tentang makalah hoax-nya itu dengan menyatakan bahwa motivasinya menulis makalah hoax itu demi "mempertahankan pemikiran kiri dari segmen yang sedang trendi (postmodernisme)". Sokal juga mengkritik bahwa beberapa ilmuwan dari ilmu sosial menggunakan istilah-istilah ilmiah dan matematika secara tidak benar dan mengkritik mereka karena menolak nilai kebenaran. Ia juga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sosial dalam perspektif kiri akan lebih baik dilayani oleh dasar-dasar intelektual berdasarkan logika.

6/
Baik di dalam bidang sains, seni, spritualitas, agama, praksis ekonomi atau politik—kesimpulan saya—sebagian besar kita pada faktanya memang "masih bodoh". Itu bukan ad hominem, tetapi sebuah fakta yang bisa dibuktikan dari cara mayoritas orang di Indonesia berpikir dan berpendapat saat ini. Kenapa bisa begitu? Jawabnya: karena mayoritas kita—seperti pendapat Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog—memang belum bisa berpikir logis. Cara bernalar yang benar tak pernah diajarkan dari tingkat keluarga, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Bahkan, pada fakultas filsafat di Indonesia—menurut pengakuan seorang sarjana filsafat yang jadi teman FB saya—logika yang diajarkan di sini baru sebatas logika klasik Aristoteles. Sementara logika modern seperti logika pragmatisme, logika proposisional, logika predikat, logika intuisionalistik, logika fuzzy, logika modalitas, ucapan preformatif (meski masih bisa diperdebatkan apakah ucapan preformatif adalah logika atau bukan), dan lain-lain tak pernah diajarkan.

Ironinya, mayoritas kita sekarang sudah merasa bisa bernalar dengan benar, sudah paham logika, sudah melampaui logika. Padahal sebagian besar kita belum mampu membedakan antara kategori umum dengan kategori khusus, belum mampu membedakan antara logical fallacy dengan berpikir logis, belum mampu membedakan antara berargumen dengan ocehan ngawur, serta belum mampu membedakan antara bukti dengan dugaan. Apakah ini sebuah ironi? Jelas! Ilmu logika sudah ada sejak 2300 tahun lalu, ketika Aristoteles merumuskan konsep logika klasik dalam buku "Organon" dan Euclid merumuskan konsep pembuktian logis dalam buku "The Elements". Namun, sayangnya, kedua buku logika klasik itu sampai sekarang belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apatah lagi buku-buku logika modern.

Dalih yang paling umum untuk menutupi ketidakmampuan berpikir logis itu adalah "tidak semua hal bisa dilogikakan". Sayangnya, sang pendalih itu tidak paham bahwa ucapan "tidak semua hal bisa dilogikakan" tersebut adalah sebuah pernyataan logis yang bisa dibuktikan benar atau salahnya. Bila hendak dirumuskan ke dalam bahasa logika formal, maka pernyataan sang pendalih itu bisa diformulasikan menjadi sebuah proposisi logika predikat yang valid, yaitu: ~ (∀x) Mx ≡ (Ǝx) ~ Mx (dibaca: "tidak semua hal bisa dilogikakan" ekuivalen dengan "ada beberapa hal yang tidak bisa dilogikakan"). Proposisi "tidak semua hal bisa dilogikakan" atau "~ (∀x) Mx" jelas tidak sama artinya dengan "semua hal tidak bisa dilogikakan" atau "(∀x) ~ Mx". Karena pengertian "tidak semua hal bisa dilogikakan" itu sama artinya dengan proposisi "ada beberapa hal yang tidak bisa dilogikakan" atau "(Ǝx) ~ Mx".

Untuk membuktikan propososi logika predikat "~ (∀x) Mx ≡ (Ǝx) ~ Mx" tersebut salah, maka kita cukup mencari satu hal saja yang "dianggap" tidak bisa dilogikakan dan dibuktikan bisa dilogikakan. Jadi, pembuktian proposisi tersebut dalam logika predikat tidak berarti harus mencari semua hal yang tidak bisa dilogikakan dan dibuktikan salah, tetapi cukup mencari satu hal yang dianggap tak bisa dilogikakan dan kemudian dibuktikan bisa dilogikakan. Namun, malangnya, rata-rata para pendalih itu tidak paham bahwa pernyataan "tidak semua hal bisa dilogikakan" tersebut sama sekali tidak membatalkan pernyataan tentang pentingnya berpikir logis dari sejak 2300 tahun lalu sampai saat ini.

7/
Ketika logika dan nurani sudah mati, ketika kebenaran bisa diganti dengan kesalahan, ketika keadilan bisa diganti dengan penindasan, ketika kebaikan bisa diganti dengan kejahatan, ketika validitas sebuah argumen bisa diganti dengan agitasi dan propaganda dan kebohongan yang digemakan berulang, maka bersiaplah "Hitler" akan muncul di negeri ini.

Bacalah sejarah bagaimana seorang HItler, seorang "tikus got" dalam kehidupan sosial, bisa muncul menjadi diktator paling keji di sebuah negara adidaya seperti Prussia (Jerman pada masa Hitler). Ya, Prussia, sebuah negeri yang berabad sebelum Hitler telah melahirkan para seniman, filsuf, aktivis, politik, ilmuwan, agamawan, dan spiritualis kelas dunia. Meister Eckhart (mIstikus Katolik), Martin Luther (pendiri gerakan Kristen Protestan), Johann Wolfgang von Goethe (penyair dan filsuf), Friedrich Schiller (penyair dan dramawan), Johann Sebastian Bach (pemusik klasik), Gottfried Wilhelm Leibniz (matematikawan dan filsuf), Immanuel Kant (filsuf idealis transendental), Georg Wilhelm Friedrich Hegel (filsuf dialektika idealis), Karl Marx (pendiri pemikiran komunisme), Otto von Bismarck (politisi), Friedrich Wilhelm Nietzsche (filsuf dan penyair), Max Planck (bapak teori fisika kuantum), dan Albert Einstien (Ilmuwan penemu teori relativitas dalam fisika) adalah sebagian kecil nama-nama intelektual kelas dunia yang telah membuat Prussia menjadi salah satu negara paling penting dalam peradaban modern. Dan, dalam waktu hanya dua puluh tahun, sang tikus got yang menggelari dirinya sebagai "der fuhrer" (sang pemimpin atau sang pemandu) dapat menghancurkan intelektualitas Prussia yang telah dibangun selama ratusan tahun menjadi kebodohan massal.

Bacalah sejarah bagaimana seorang pelukis gagal seperti Hitler, setelah masuk partai kecil berhaluan nasionalisme ekstrim (NAZI), dalam waktu yang sangat cepat bisa menjadi diktator fasis di Prussia. Baca pula bagaimana--setelah berhasil menduduki kursi kekuasaan di Prussia--Hitler menyingkirkan seluruh oposisinya di parlemen. Baca bagaimana Hitler membuat propaganda dengan informasi "hoax" dan mengubah pemikiran rakyat Prussia yang sangat intelektual menjadi sedemikian bodoh, sehingga mayoritas dari mereka percaya Yesus berasal dari ras Aria (bukan Yahudi) hanya dengan ditunjukkan "bukti" lukisan-lukisan imajinatif karya seniman Eropa abad pertengahan yang menggambarkan sosok Yesus sebagai lelaki berambut pirang dan bermata biru. Baca bagaimana Hitler berhasil menjungkirbalikkan akal sehat dan nurani mayoritas rakyat Prussia untuk melakukan pembantaian minoritas Yahudi dan menyeret Prussia ke dalam perang dunia kedua--perang yang telah menghancurkan Eropa dan membawa korban jutaan nyawa manusia.

Bacalah sejarah bagaimana seorang manusia yang sebelumnya berasal dari "selokan" bisa menjadi pemimpin bangsa paling maju dan berbudaya pada masanya, bangsa Prussia, lalu mengubah mayoritas rakyatnya menjadi zombie pembunuh hanya dengan "modal" kerongkongan!
***

Catatan:

PRINSIP LEDAKAN (ABSURDITAS) DAN LOGIKA PARAKONSISTENSI

Prinsip ledakan (Latin: ex falso quodlibet : "dari kesalahan dapat muncul segalanya"; atau ex contradictione quodlibet: "dari kontradiksi dapat muncul segalanya"), atau prinsip "Pseudo-Scotus", adalah salah prinsip inferensi di dalam logika klasik, logika intuisionalistik, dan sistem logika yang sejenis. Di dalam prinsip ledakan pernyataan apa pun dapat dibuktikan dari kontradiksi atau kesalahan infrensi logis. Artinya, sekali inferensi logis memunculkan kontradiksi, maka setiap konklusi apa pun dapat tercipta darinya. Bila hendak dituliskan dalam bahasa logika intuisionalistik, maka prinsip ledakan itu dapat diformulasikan menjadi sebuah inferensi logis seperti ini: (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ.

Contoh, bila saya menyatakan bahwa "saya ada di sini" dan (sekaligus) "saya tak ada di sini", maka konklusinya adalah "sebuah meteor sedang melintasi langit". Itu jelas merupakan konklusi yang absurd karena konklusi itu tidak ada sebagai terma di dalam premis-premisnya, seperti tiba-tiba muncul dari kehampaan.

Dengan menggunakan bahasa logika intuisionalistik, berikut bukti (proof) dari prinsip ledakan: (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ

Bila:
ϕ (phi), ψ (psi), ω (omega) = proposisi atomik
∧ = konjugasi (operator logika untuk "dan")
¬ = negasi
∨ = disjungsi (operator logika untuk "atau")
⊢ = "terbukti (dalam satu sistem tertentu)" atau "implikasi" (operator logika untuk "maka")

Maka:

1. ϕ ∧ ¬ ϕ (asumsi)
2. ϕ (dari 1 dengan menggunakan eliminasi konjungsi)
3. ¬ ϕ (dari 1 dengan menggunakan eliminasi konjungsi)
4. ϕ ∨ ψ (dari 2 dengan menggunakan penambahan disjungsi)
5. ψ (dari 3 dan 4 dengan menggunakan silogisme disjungtif)
6. (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ (dari 5 dengan menggunakan pembuktian implikasi pada asumsi 1)

Logika parakonsistensi berusaha membantah argumen dari logika klasik tentang "prinsip ledakan". Menurut para logikawan parakonsistensi, bila hendak meninggalkan "prinsip ledakan", maka seseorang harus meninggalkan setidaknya satu dari tiga prinsip logika proposisional berikut ini:

1. Penambahan disjungsi: ϕ ⊢ ϕ ∨ ψ
2. Silogisme disjungsi: ϕ ∨ ψ, ¬ ϕ ⊢ ψ
3. Transitivitas dari infrensi: Jika ϕ ⊢ ψ dan ψ ⊢ ω, maka ϕ ⊢ ω

Jika dan hanya jika para logikawan telah meninggalkan satu dari tiga prinsip logika di atas di dalam inferensinya, maka kontradiksi akan terbukti koheren secara parakonsistensi, tanpa menjadi absurd:

4. Bukti kontradiksi adalah logis: Jika ϕ ⊢ ψ ∧ ¬ ψ, maka ⊢ ¬ ϕ

Namun, sayangnya, jika aturan ganda "negasi eliminasi" (¬ ¬ ϕ ⊢ ϕ) ditambahkan, maka setiap proposisi masih dapat dibuktikan dari kontradiksi. Negasi eliminasi ini masih merupakan kelemahan bukti kontradiksi dari logika parakonsistensi, meski logika intuisionalistik tidak mengenal prinsip negasi eliminasi.

Intinya logika parakonsistensi mencoba membuktikan bahwa kontradiksi bisa tetap koheren secara logika dan tidak terjebak pada absurditas. Logika parakonsistensi membuktikan bahwa dua hal yang bertentangan tidaklah menghasilkan kesimpulan yang absurd, melainkan kesimpulan yang logis. Bila prinsip ledakan (lompatan) menyatakan bahwa dua premis yang berkontradiksi akan menghasilkan konklusi apa pun (absurd), maka logika parakonsisten membuktkan bahwa dua premis yang bertentangan tidak bisa menghasilkan konklusi apa pun (absurd).

5 September 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons