: KESETIAAN ATAS SEBUAH PILIHAN
[Ibnu Wahyudi bersama Sapardi Djoko Damono, tiga tahun lalu]
Ibnu Wahyudi *
[0]
Ada semacam penyimpangan—untuk tidak mengatakannya “pemberontakan”—yang telah lama dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono dalam aktivitas berpuisi, yang sipi dari timbangan para pemerhati. Penyimpangan itu boleh jadi dapat disebut sederhana tetapi karena dilakukan dengan kekonsistenan yang telah ia tunjukkan hampir 50-an tahun, apalagi yang dapat kita katakan selain sebagai sebuah “kesetiaan”? Ya, kesetiaan. Suatu perilaku baru dapat dinyatakah sebagai “kesetiaan”, seperti kita maklumi, niscaya jika telah melewati perjalanan panjang, mengambil ruang yang lumayan dominan; kendati diselingi sejumlah variasi dan kreasi, atau juga sekadar permainan. Namun yang telah dipilih sastrawan berusia 70 pada tahun 2010 ini bukan hanya kesetiaan; ketekunan pun tercermin dari karya-karyanya.
Sapardi Djoko Damono telah menulis soneta—ini istilah “baku” dalam bahasa Indonesia yang juga dipakai oleh Sapardi sendiri ketika, misalnya, membicarakan karya-karya Wing Kardjo dengan judul “Memperkosa Soneta”—semenjak tahun 1960-an dengan (merencanakan) penerbitan kumpulan soneta berjudul “Sonnet-sonnet dari Djakarta”. [Sayangnya, hingga kini, antologi soneta ini belum terbit meskipun sejak tahun 1960-an beberapa soneta yang dimuat di pelbagai media sering diberi keterangan “dari sonet-sonet dari Djakarta”, misalnya “Sonet: Lelaki² Telah Turun Kelaut” yang dimuat majalah Horison atau “dari sonnet-sonnet dari Djakarta” seperti “Sonnet: karena engkau seorang” yang dimuat majalah Basis]. Dengan menyebut karyanya itu sebagai “sonnet” atau “sonet” alih-alih “soneta”, bahkan hingga karya yang terbit melalui Kompas pada 11 Januari 2009, yang lalu terbit dalam Kolam (2009), jelas bahwa dipakainya istilah tersebut merupakan semacam representasi akan kedirian yang khas, yang lazimnya bagi para seniman merupakan sebuah nafas; sebuah pernyataan diri yang tegas. Dipergunakannya istilah “sonet” dalam banyak karyanya ini, dari satu sisi dapat dimaknai bahwa Sapardi tampak hendak menawarkan suatu pengindonesian yang lebih tepat dari istilah “sonnet” ini sebagai “sonet”, tetapi di sisi lain ia agaknya menyadari bahwa tidak mudah “melawan” hegemoni peristilahan yang telah lama dikenal secara luas, sehingga dalam membicarakan sonnet karya sastrawan lain, ia pun bersedia memakai istilah “soneta”. Ini sepertinya bukan sekadar satu “penerimaan” melainkan lebih dapat dimaknai sebagai suatu “kerendahhatian”.
[1]
Dengan memakai istilah “sonet” yang lebih dekat dengan istilah dalam bahasa Inggris maupun Belanda (sonnet), tidak berarti bahwa Sapardi kemudian sepenuhnya tunduk dan setia dengan soneta Inggris atau Belanda tersebut, baik yang bergaya Shakespeare (diambil dari kecenderungan karya William Shakespeare, 1564-1616) maupun Spenser (diambil dari kecenderungan karya Edmund Spenser, 1552?-1599), atau juga soneta Petrarcha (soneta yang berasal dari Italia yang artinya ‘suatu suara atau nada yang lirih atau lembut’; lihat Alexander, 200:82). Padahal, Sapardi tentu jelas paham dan menyadari, jika seseorang hendak membuat soneta maka mau tidak mau akan berhadapan dengan pola tertentu, dengan bentuk yang tetap, seperti pendapatnya sendiri saat mengomentari soneta-soneta Wing Kardjo, bahwa di dalam soneta “ada konvensi yang tidak boleh dilanggar: jumlah lariknya 14 dengan aturan rima yang ketat”. Itulah pandangannya; tetapi pandangan itu dikemukakan oleh Sapardi-yang-pengamat-sastra dan bukan oleh Sapardi-yang-pencipta-sastra, karena ketika ia menulis soneta kelihatan terang adanya upaya pengkhianatan atau ketidaksetiaan terhadap apa yang telah diucapkan itu. Agar ihwal ketidaksetiaannya terhadap formula soneta itu langsung tergambar, berikut adalah soneta karya Sapardi yang menyimpang dari pakem, khususnya pada tiadanya aturan rima yang mengingatkan kita pada soneta.
Sonet: X
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa mencair di bawah pandangku
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku
siapa tiba menjemput berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
Dari sajak “Sonet: X” yang dibuat tahun 1968 ini, yang masih memperlihatkan tautan dengan konvensi atau kecenderungan soneta pada lazimnya hanyalah dalam jumlah larik (14 baris), dan adanya dua larik terakhir (ataukah hanya sebuah?) yang berujud epigram yang bernuansa meditatif atau eksistensialistis: / siapa meledak dalam diriku/ : siapa Aku//. Selebihnya, adalah semacam kemanasukaan yang telah diterapkan oleh Sapardi. Dapat dikatakan demikian tentu bersebab dari tidak dipakainya formula atau skema rima yang lazim dipergunakan oleh para penulis soneta, utamanya pada komposisi rima, seperti juga telah ia nyatakan sendiri. Dari apa yang telah kita pelajari di sekolah maupun dari khazanah soneta di masa Pujangga Baru yang umumnya dengan baik kita kenal, sangat mungkin kita masih ingat, seperti juga pernah dinyatakan oleh Abrams (1993:197-198) konvensi soneta adalah terdiri atas dua bagian yang berupa oktaf dengan rima //abbaabba// yang diikuti oleh sestet dengan rima //cdecde// atau //cdccdc// (soneta Italia), atau terdiri atas tiga kuatrin dengan rima //abab cdcd efef// yang ditutup sebuah kuplet dengan rima //gg// (soneta Shakespeare), maupun tiga kuatrin (//abab bcbc cdcd//) dengan sebuah kuplet (//ee//) sebagai penutup (soneta Spenser), sementara pada sajak Sapardi tadi pola tersebut tidak tampak. Sajak “Sonet: X” hanya terdiri atas sebuah stanza atau bait dan jelas hanya mempunyai satu bunyi akhir yang repetitif, yaitu /u/, sehingga dengan mudah dapat dikatakan bahwa sajak ini menyimpang atau mengkhianati formula soneta meski judul sajak ini diberi label “sonet”. Sementara itu, dalam sejarah personetaan, skema rima, merujuk penjelasan Shipley (1968:379-380), ternyata memang juga tidak selamanya tetap dan ketat namun sangat variatif. Kendati demikian, keseluruhan rima dalam sebuah soneta yang utuh, 14 larik, yang hanya menyuarakan sebuah bunyi, seperti pada “Sonet: X”, dapat dikatakan sangat langka.
Sajak Sapardi Djoko Damono yang terdiri atas 14 larik dalam satu stanza, bukan hanya “Sonet: X”. Sebagai soneta, kenyataan yang sedemikian itu sesungguhnya bukan sesuatu yang mengherankan sebab salah sebuah definisi soneta menyatakan hal yang seperti itu, yaitu bahwa soneta adalah “a lyric poem consisting of a single stanza of fourteen iambic pentameter lines linked by an intricate rhyme scheme” (Shipley, 1968:197). Dari pengamatan terhadap keseluruhan sajak Sapardi, ada beberapa sajak lain yang tidak diberi label “sonet” namun terdiri atas 14 baris. Menghadapi kenyataan ini, muncul semacam pertanyaan, adakah karya-karya yang seperti itu juga harus kita sebut sebagai soneta, sementara memang suatu soneta pada galibnya tidak selalu harus diberi judul secara verbal dengan kata “soneta”?
Karya-karya awal Sapardi, yang ditulis pada tahun 1960-an, ada yang terdiri atas 14 baris, semisal pada sajak yang berjudul “Nyanyian Para Sahabat Kita, I” atau “Sajak Mimpi”, namun tidak diberi julukan “sonet”. Tiadanya penyebutan karya tersebut sebagai “sonet” menyebabkan banyak yang cenderung tidak pernah menyinggung kedua sajak ini, contohnya, sebagai soneta. Penyebabnya, pengetahuan kita mengenai soneta pada lazimnya sebatas yang kita terima di bangku sekolah atau dari khazanah karya Pujangga Baru pada umumnya itu, atau dari suatu karya jika karya itu sendiri memang diberi identitas sebagai “soneta” atau “sonet” seperti pada “Sonet: X” di depan atau “Sonet: Y” di bawah ini.
Sonet: Y
walau kita sering bertemu
di antara orang-orang melawat ke kubur itu
di sela-sela suara biru
bencah-bencah kelabu dan ungu
walau kau sering kukenang
di antara kata-kata yang lama tlah hilang
terkunci dalam bayang-bayang
dendam remang
walau aku sering kausapa
di setiap simpang cuaca
hijau menjelma merah menyala
di pusing jantra
=: ku tak tahu kenapa merindu
tergagap gugup di ruang tunggu.
Dari khazanah masa Pujangga Baru, dari sejumlah karya Ali Hasjmy (1914-1998), Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994), Sanusi Pane (1905-1968), atau juga karya mantan wakil presiden pertama RI, M. Hatta (1902-1980), misalnya, yang meskipun tidak diberi nama “soneta”, karya-karya mereka langsung dipahami sebagai soneta karena kesemuanya menampakkan diri atau memenuhi kriteria sebagai soneta seperti luas diajarkan di dunia pendidikan atau melalui buku-buku teori sastra. Dari dunia sekolah, setiap mendengar kata soneta, orang cenderung akan langsung merujuk kepada puisi yang terdiri atas empat bait atau stanza yang terdiri atas //4 larik//-//4 larik//-//3 larik//-//3 larik// dengan skema rima yang tertentu pula seperti //abab//-//bcbc//-//dcc//-//dbb// pada soneta berjudul “Menyesal” karya Ali Hasjmi, atau //abab//-//cdcd//-//eec//-//bbc// pada soneta berjudul “Sajak” karya Sanusi Pane.
Penyimpangan atau pengkhianatan sebagaimana telah dilakukan oleh Sapardi tersebut, dalam ranah kerja kreatif, merupakan hal yang jamak jika dipandang dari kebebasan berekspresi yang selalu mengiringi suatu upaya berkreasi. Akan tetapi, apakah keseluruhan soneta Sapardi kemudian juga akan selalu memperlihatkan tindak pengkhianatan tersebut? Ternyata tidak. Selain selalu terdiri atas 14 baris, sebagian besar soneta yang dicipta Sapardi tunduk pada suatu konvensi meskipun tidak selalu merujuk pada konvensi soneta Inggris atau Italia, misalnya. Sejumlah soneta Sapardi telah menciptakan “konvensi”-nya sendiri, yaitu bahwa soneta-sonetanya—khususnya yang terbit belakangan—tidak mengindahkan skema rima yang ketat; yang artinya adalah “tanpa konvensi”. Pola rima yang dipergunakan Sapardi sangat variatif meskipun ada pula yang mendekati gaya soneta Shakespeare (//abab//-//cdcd//-//efef//-//gg//), seperti terlihat pada soneta di bawah ini.
Sonet 5
Malam tak menegurmu, bergeser agak ke samping
ketika kau menuangkan air mendidih ke poci;
ada yang sudah entah sejak kapan tergantung di dinding
bergegas meluncur di pinggang gelas-waktu ini.
Dingin menggeser malam sedikit ke sudut ruangan;
kautahan getar tanganmu ketika menaruh tutup
poci itu, dan luput; ada yang ingin kaukibaskan.
Kenapa mesti kaukatakan aku tampak begitu gugup?
Udara bergoyang, pelahan saja, mengurai malam
yang melingkar, mengusir gerat-gerit dingin
yang tak hendak beku, berloncatan di lekuk-lekuk angka jam.
Malam tidak menegurku. Hanya bergeser. Sedikit angin.
Ada yang diam-diam ingin kauusap dari lenganmu
ketika terasa basah oleh tetes tik-tok itu.
Dalam perkembangan penulisan soneta yang dikerjakan oleh Sapardi, tampak jelas bahwa pola penglarikan yang dipilih—untuk sementara ini—adalah pola seperti pada soneta berjudul “Sonet 5” di atas yaitu berpola //4 larik//-//4 larik//-//4 larik//-//2 larik//. Dalam hal penglarikan ini, dapat dinyatakan di sini bahwa konsistensi cenderung dimanfaatkan oleh Sapardi, berbeda dengan apa yang telah dikerjakan oleh Wing kardjo, sebagaimana terlihat dalam penjelasan pada catatan kaki nomor 10, yang tidak selamanya berpola //4 larik//-//4 larik//-//3 larik//-//3 larik//, meskipun pola ini memang yang paling dominan. Dan meskipun “Sonet: X” atau “Sonet: Y” seolah mewakili gaya bersoneta Sapardi di masa awal, tidak dengan sendirinya berarti bahwa gaya seperti terlihat pada “Sonet 5” ini merupakan pencapaian terbaru, sebab ternyata sudah ada pula soneta Sapardi, dimuat tahun 1964 di majalah Basis, yang menampakkan kecenderungan itu. Kita baca “Sonet: Karena Engkau Seorang” di bawah ini.
Sonet: Karena Engkau Seorang
karena engkau seorang penyair katakan mari padaku
apa yang selalu dibisikkan laut kepada langit sepanjang zaman
tak putus-putusnya angin menjelmakan alun yang berwarna biru
bergulung, dan ada yang diucapkan ketika mencapai daratan
pastilah elang laut suatu lambang, yang terbang jauh di langit
hidup dari kehidupan laut dan kembali ke daratan
seperti ada selalu percakapan kekal, yang tak punya sejarah
tentang sesuatu yang di luar perhitungan segala zaman
selalu kaudengarkah dari perahu ini nyanyian-nyanyian yang diam
(di antara huru-hara kehidupan, hiruk-pikuk penghidupan)
selalu kaudengarkah nyanyian-nyanyian yang diam, rekaman suara alam
menyusup ke dalam jiwamu merenung, nurani kesadaran
tentulah tak jemu-jemunya mengatakan padaku karena kau penyair
tentang sesuatu yang masih bertahan setelah segala zaman berakhir
[2]
Apabila Ajip Rosidi pernah memanfaatkan bentuk puisi khas Jepang bernama haiku sebagai bentuk pengucapan sastranya seperti terlihat dalam kumpulan Sajak-sajak Anak Matahari yang terbit tahun 1979, sementara Sutardji Calzoum Bachri pernah berasyik masyuk dengan cara pengucapan mantra, dan Taufiq Ismail pernah mencoba mengeksplorasi gurindam, syair, dan pantun, misalnya, maka Sapardi Djoko Damono telah cukup jatuh hati dengan soneta sebagaimana halnya Wing Kardjo. Memang, belum ada sebuah buku kumpulan soneta yang utuh darinya, seperti Fragmen Malam-nya Wing Kardjo, namun perhatian dan keinginan menulis soneta pada diri Sapardi agaknya telah lama muncul dan tidak padam-padam selama hampir setengah abad, terbukti dengan rencana menerbitkan antologi “Sonet-sonet dari Jakarta” yang konon pernah mencapai 15 buah sajak pada tahun 1960-an hingga terbitnya 15 buah (juga!) soneta yang terhimpun sebagai “Buku Dua” dalam antologi Kolam serta dari sejumlah soneta yang tersebar di pelbagai antologi. Akan tetapi, mengapa soneta menjadi sebagian pilihan sastrawan yang sering dilabeli sebagai pemuisi imagis ini? Anasir atau dimensi dari soneta seperti apa yang telah mampu menggodanya dan lalu menjadi pilihan berkaryanya untuk kurun yang cukup panjang?
Soneta, agaknya, dipilih pemuisi yang juga penulis prosa ini bukannya tanpa suatu alasan, meski alasan itu mungkin juga tidak sepenuhnya ia sadari. Sudah sangat biasa dimengerti bahwa soneta adalah “a lyric poem” dan pilihan Sapardi terhadap lirik adalah pilihan yang sangat tepat, seperti pernah dinyatakan oleh Goenawan Mohamad (1969) sebab dari hampir keseluruhan sajak Sapardi pada hakikatnya adalah sajak liris, sajak yang pada dasarnya berupa curahan perasaan seseorang yang mengekspresikan tanggapan atau persepsinya atas sejumlah persoalan yang melingkupi diri atau sekitarnya. Sedari puisi pertamanya dipublikasikan pada tahun 1958 di Merdeka berjudul “Tjerita Burung” dan berlanjut di Mimbar Indonesia, Widjaja, Konfrontasi, Indonesia, dan Basis, misalnya, nada yang dikemukakan Sapardi rata-rata begitu liris dan lirih, bahkan pun untuk tema yang seharusnya perlu diteriakkan. Kenyataan ini berkorelasi atau bertautan dengan makna dasar kata soneta itu dalam bahasa Italia (sonnetto), yaitu ‘a little sound’.
Dengan memilih soneta sebagai wahana ekspresinya, maka pada galibnya Sapardi telah menemukan bentuk yang pas dan tampaknya hampir tidak ada kehendak untuk memperkosanya, sebagaimana dilantangkan dengan kesal oleh Wing Kardjo. Sapardi tampak nyaman dan tenteram dengan soneta kendati usaha untuk melancarkan keisengan—sebagai wujud dari kecenderungan kreatif yang selalu mengada—beberapa kali menggodanya. Dengan skema rima bukan-soneta pada “Sonet : X” yang telah dikutip di depan, bukankah kelihatan adanya upaya untuk melakukan permainan atau keisengan? Namun tetap saja, bukan teriakan atau lolongan yang diekspresikan, melainkan sekadar menyalurkan keresahan akan ketakpahaman dirinya terhadap dirinya sendiri. Dan manifestasi akan ketidakpahaman akan dirinya ini tentu saja tidak perlu dengan tanda seru atau suara yang mengharu biru, melainkan cukup dengan huruf kapital pada aku: / : siapa Aku//.
Kalaupun kita pernah menyaksikan adanya tanda seru (!) dalam sonetanya, misalnya pada “Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan”, seruannya itu perlahan akan tertelan oleh kontras yang dibangun dan dimainkan, serta oleh ajakannya yang lirih untuk menyaksikan setiap kematian. Yang hadir pada diri pembaca bukan lagi suatu kemarahan, kalau ada, melainkan kesadaran dan pemahaman akan esensi suatu siklus biasa yang jika diamati dengan seksama akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Inilah inti ajakannya, agar kita tidak selalu melupakan fenomena apa pun, utamanya yang berhubungan dengan alam atau kehidupan, yang mengiringi keseharian kita, sebab dengan belajar dan memahami alam, segala sesuatu yang seharusnya diposisikan sebagai suatu yang menggetarkan, untuk tidak mengatakan “mengerikan”, akan mampu hadir dan memperkaya daya cerap kita dengan suatu kenikmatan inderawi. Maka khazanah apa saja di lingkungan terdekat kita akan selalu menjadi cermin dan sekaligus guru jika saja kita memang mau menjadi mahasiswa kehidupan yang serba haus akan misteri alam. Mari kita simak soneta yang dibuatnya tahun 1967 ini.
Sonet: Hei! Jangan Kaupatahkan
Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu
ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua
yang telah mengenal baik, kau tahu,
segala perubahan cuaca
Bayangkan: akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar
hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar
dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan
dengan gaib, dari rahim Alam
Jangan; saksikan saja dengan teliti
bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam
membunuhnya dengan hati-hati sekali
dalam kasih sayang, dalam rindu dendam Alam;
lihat: ia pun terkulai perlahan-lahan
dengan indah sekali, tanpa satu keluhan.
Setelah tiga puluhan tahun, dalam situasi kehidupan dan gejolak sosial-politik yang sudah begitu jauh berbeda arah dan nuansanya, soneta Sapardi muncul lagi, tetap dengan suara lirihnya dalam menyiasati atau menanggapi cuaca zaman. Dicatatnya bahwa pada tahun-tahun itu kepongahan meraja lela, banjir bandang kata kasar tidak terkira, suara-suara kritis meraja lela di mana-mana. Sepintas memang tampak adanya kemajuan dalam menyuarakan pendapat, dalam berdemokrasi, dan juga dalam melakukan aksi tetapi ternyata itu semua tidak terlalu berarti bagi banyak orang, yaitu “kita”, akibatnya /... kita suka gugup/ di antara frasa-frasa pongah/ dan juga /di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak/.
Umumnya kita sesungguhnya memang tidak secara langsung terlibat dan dilibatkan dalam perubahan zaman itu, yang dapat saja diakibatkan oleh ketidaksiapan sebagian besar kita namun juga sangat mungkin oleh ketidakmauan kita. Posisi kita sungguh rawan dalam dinamika yang tidak sepenuhnya dapat dipahami itu. Pada akhirnya, “kita” memang hanyalah korban sehingga bukan suara lantang yang harus kita perdengarkan melainkan sebentuk kompromi untuk tetap punya jati diri. Dan kompromi yang paling mungkin dilakukan adalah bukan dengan berpihak kepada salah satu pihak melainkan pada penyiasatan terhadap “korban-korban” lainnya, semisal dengan merasakan diri sebagai kain rentang yang koyak-moyak, yang seringkali sungguh tidak dianggap lagi ketika perhelatan usai. Selengkapnya, soneta yang berjudul “Sonet: Entah Sejak Kapan” yang pertama kali muncul dalam antologi Arloji (Yayasan Puisi, 1998) disajikan di bawah ini.
Sonet: Entah Sejak Kapan
Entah sejak kapan kita suka gugup
di antara frasa-frasa pongah
di kain rentang yang berlubang-lubang
sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan
di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak
di kain rentang yang ditiup angin,
yang diikat di antara batang pohon
dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela
huruf-huruf kaku yang tindih-menindih
di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan
yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama
rupanya kita suka membayangkan diri kita
menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya
bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin.
Ditilik dari cara mengekspresikan gagasan dalam soneta ini, ada yang berbeda dengan soneta-soneta awal yang dibuat oleh Sapardi. Perbedaan yang langsung terasa itu adalah pada teknik penulisan dengan enjambemen yang diterapkan. Secara teori, tidak terlalu banyak penjelasan atau perhatian dari pengamat mengenai pemenggalan struktur kalimat yang berpindah ke bait atau larik berikutnya ini, namun secara praktik hal ini sering diterapkan oleh para pemuisi. Sajak-sajak Sapardi dan Goenawan Mohamad, misalnya banyak memperlihatkan adanya teknik enjambemen ini yang sepintas seolah-olah hanya mengejar kenikmatan pembacaan dengan munculnya rima tertentu, namun tentu ada suatu makna yang dapat dicoba atau dicari-cari.
Dari soneta di atas, jika disimak enjambemennya, misalnya antara larik ke-4 dengan ke-5: / ...; kita berhimpitan// // di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak / akan terasa adanya penekanan makna pada frase “kata-kata kasar” yang telah menghimpit dan mendesak-desak kita. Adanya peralihan bait atau stanza memberi ruang pada diri kita untuk bisa lebih mencerna penekanan maksud yang diisyaratkan oleh sang pemuisi. Demikian pula dengan larik ke-8 dan ke-9: / ...; kita tergencet di sela-sela// //huruf-huruf kaku yang tindih-menindih/ memberikan semacam wilayah pemaknaan yang lebih leluasa karena pembaca seolah-olah tidak dikejar-kejar dengan urutan larik yang berhimpit. Adanya sela antarbait lebih memberi jeda sejenak yang niscaya akan memberi kelebihan dalam pemaknaan sekiranya tanpa sela itu. Namun demikian, enjambemen tentu tidak hanya harus dilihat pada bagian antarbait; di antara larik pun sering terdapat enjambemen yang seringkali menyentak kita karena adanya pemenggalan yang menggantung, tiba-tiba, atau tidak biasa jika dilihat dari pemotongan kalimat. Sebagai contoh saja dapat dilihat pada bait pertama: // Entah sejak kapan kita suka gugup/ di antara frasa-frasa pongah/ di kain rentang yang berlubang-lubang/ sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan//.
Enjambemen semacam itu, selain memang sering dapat kita jumpai dalam sajak-sajak Sapardi lainnya, juga kembali muncul dalam sejumlah sonetanya yang terbit kemudian, yang terhimpun dalam Kolam. Peranan enjambemen dalam soneta di bawah ini, dan juga dalam sajak-sajak lainnya itu, pada hakikatnya memanggul tugas yang serupa, yaitu memberi wilayah pemaknaan yang lebih leluasa dan, siapa tahu, bisa mengagetkan. Satu contoh soneta mutakhir karya Sapardi yang memperlihatkan masih diterapkannya enjambemen adalah pada sajak berjudul “Sonet 7” di bawah ini.
Sonet 7
Ada jarak yang harus ditempuh sampai suasana
siap menerima kita. Dan kita arif menerimanya, bukan?
Ada yang harus tak habis-habisnya kita hela
dan hembuskan sampai pisau yang terpejam di tangan
membelah apel yang di atas meja. Seiris telentang, seiris
tengkurap di sebelahnya? Begitu ramal seorang empu
setelah menyelesaikan tugas menempa sebilah keris.
Celoteh juru nujum yang di bukit nun di sana itu?
Ada jarak yang harus diremas sampai kerut
dalam pembuluh darah kita. Sampai yang biru
kembali hijau berkat kuning itu, sampai segala luput:
yang ini, yang itu, yang di sana, yang di situ,
yang layang-layang, yang batu? Ada jarak yang harus ditebas
kalau kita mau menerima pertemuan ini dengan ikhlas.
Dari contoh soneta yang dikutipkan di sini, bukan hanya enjambemen yang masih dimanfaatkan Sapardi untuk memperoleh efek artistik tertentu, namun juga munculnya cara pengucapan baru dengan adanya kalimat bercetak miring yang seolah-olah ada semacam dialog atau percakapan. Dalam konteks kehidupan, dialog atau percakapan itu merupakan suatu bentuk komunikasi yang tentu jamak dilakukan oleh makhluk hidup. Komunikasi itu dapat berupa percakapan antarpribadi, antara diri dengan Sang Pencipta, antara seseorang dengan alam sekitar, maupun antara sebuah pribadi dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, kalimat yang bercetak miring itu dapatlah dimaknai semacam suara “lain” yang jika dilihat dari konteks akan dapat mengarahkan kesimpulan kita mengenai siapa yang berbicara atau yang berdialog.
[3]
Sebagaimana sudah banyak dibicarakan oleh para pengamat puisi, soneta-soneta Sapardi Djoko Damono masih juga sangat sarat dengan diksi yang memberikan tawaran pada panorama inderawi yang subtil dan seringkali sangat detail. Ini adalah salah satu kekuatan Sapardi dalam membangun konstruksi puisi: menawarkan makna mendalam melalui kosakata bersahaja yang dipilih dengan estetika rasa yang paripurna.
Melalui soneta-sonetanya, Sapardi pun pada akhirnya turut meneguhkan dirinya sebagai penyair liris-imajis yang tidak perlu harus berucap histeris, namun cukup dengan ungkapan-ungkapan lirih sebagaimana dikehendaki oleh sebuah soneta, istimewanya soneta yang jernih. Kemudian dengan dimanfaatkannya pola enjambemen, soneta memang tidak lagi menjadi artefak yang apak, tetapi malahan mewujud menjadi entitas yang bernas dan cerdas. Kemasalaluan atau kekonvensionalan yang hampir selalu menyertai soneta, melenyap diam-diam menjadi semacam masa silam, berganti dengan citra soneta yang setara dengan jenis puisi modern lainnya. Dan adanya semacam dialog atau percakapan yang turut merayakan soneta-soneta mutakhir Sapardi ini, telah memberi semacam revitalisasi yang sarat aksi, sementara di sejumlah soneta yang telah direkanya, menjadi tampak begitu seksi.
***
Depok, 2010 (dengan sedikit penyesuaian, 20 Juli 2020)
___________________
*) Ibnu Wahyudi, sastrawan kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah 24 Juni 1958. Mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia (UI), selain itu menjadi pengajar-tamu di Jakarta International Korean School (sejak 2001), di Prasetiya Mulya Business School (sejak 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (sejak 2009), dan di SIM University Singapura.
Pendidikan S1 di bidang Sastra Indonesia Modern diselesaikan di Fakultas Sastra UI (1984). Tahun 1991-1993, mengikuti kuliah di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia dan peroleh gelar MA, serta menempuh pendidikan doktor (Ilmu Susastra) di Program Pascasarjana UI. Tahun 1997-2000, menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.
Kumpulan puisinya yang sudah terbit, Masih Bersama Musim (KutuBuku, 2005), Haikuku (Artiseni, 2009), dan Ketika Cinta (BukuPop, 2009). Kumpulan prosamininya berjudul Nama yang Mendera (Citra Aji Parama, 2010). Buku puisinya Masih Bersama Musim masuk 10 besar penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2005. Buku-buku yang pernah disusun /disuntingnya, Lembar-lembar Sajak Lama (kumpulan sajak P. Sengodjo) Balai Pustaka 1982, Pahlawan dan Kucing (kumpulan cerpen Suripman) Balai Pustaka 1984, Konstelasi Sastra (Hiski, 1990), Erotisme dalam Sastra (1994), Menyoal Sastra Marginal (2004), Toilet Lantai 13 (Aksara 13, 2008), Ode Kebangkitan (2008), dll.
http://sastra-indonesia.com/2020/07/sonet-sonet-sapardi-djoko-damono/
the spaces of world figures, literature studies, new school of thought in the world of literature (art, letters, etc.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A. Syauqi Sumbawi
A.C. Andre Tanama
Aang Fatihul Islam
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Adam Roberts
Adelbert von Chamisso
Adreas Anggit W.
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus R. Sarjono
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Yulden Erwin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Albert Camus
Albrecht Goes
Alexander Pushkin
Alit S. Rini
Amien Kamil
Amy Lowell
Andra Nur Oktaviani
André Chénier
Andy Warhol
Angela
Angela Dewi
Angrok
Anindita S. Thayf
Anton Bruckner
Anton Kurnia
Anwar Holid
Arif Saifudin Yudistira
Arthur Rimbaud
Arti Bumi Intaran
AS Laksana
Asep Sambodja
Awalludin GD Mualif
Axel Grube
Bambang Kariyawan Ys
Basoeki Abdullah
Beethoven
Ben Okri
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Berto Tukan
BI Purwantari
Birgit Lattenkamp
Blaise Cendrars
Book Cover
Brunel University London
Budi Darma
Buku Kritik Sastra
C.C. Berg
Candra Kurnia
Cecep Syamsul Hari
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Charles Baudelaire
Claude Debussy
Cristina Lambert
D. Zawawi Imron
Damhuri Muhammad
Dana Gioia
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darwin
Dea Anugrah
Denny Mizhar
Diponegoro
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dwi Cipta
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Edgar Allan Poe
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Emha Ainun Nadjib
Emily Dickinson
Enda Menzies
Endorsement
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Essay
Evan Ys
Fahmi Faqih
Fatah Anshori
Fazabinal Alim
Feby Indirani
François Villon
François-Marie Arouet (Voltaire)
Frankfurt Book Fair 2015
Franz Kafka
Franz Schubert
Franz Wisner
Frederick Delius
Friedrich Nietzsche
Friedrich Schiller
Fritz Senn
FX Rudy Gunawan
G. J. Resink
Gabriel García Márquez
Gabriela Mistral
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Goethe
Hamid Dabashi
Hardi Hamzah
Hasan Junus
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier
Henry Lawson
Hera Khaerani
Hermann Hesse
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Ignas Kleden
Igor Stravinsky
Imam Nawawi
Indra Tjahyadi
Inspiring Writer
Interview
Iskandar Noe
Jakob Sumardjo
Jalaluddin Rumi
James Joyce
Jean-Paul Sartre
Jiero Cafe
Johann Sebastian Bach
Johannes Brahms
John H. McGlynn
John Keats
José de Espronceda
Jostein Gaarder
Kamran Dikarma
Katrin Bandel
Khalil Gibran (1883-1931)
Koesoema Affandi
Koh Young Hun
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Koskow
Kulya in the Niche of Philosophjy
Laksmi Pamuntjak
Laksmi Shitaresmi
Lathifa Akmaliyah
Laurencius Simanjuntak
Leila S Chudori
Leo Tolstoy
Lontar Foundation
Lorca
Lord Byron
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lutfi Mardiansyah
Luthfi Assyaukanie
M. Yoesoef
M.S. Arifin
Mahmoud Darwish
Mahmud Ali Jauhari
Mahmudi
Maman S. Mahayana
Marco Polo
Martin Aleida
Mathori A Elwa
Max Dauthendey
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Michael Kumpfmüller
Michelangelo
Milan Djordjevic
Minamoto Yorimasa
Modest Petrovich Mussorgsky
Mozart
Mpu Gandring
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Yasir
Mulla Shadra
Nenden Lilis A
Nikmah Sarjono
Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nizar Qabbani
Noor H. Dee
Notes
Novel Pekik
Nunung Deni Puspitasari
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz
Orasi Budaya
Orhan Pamuk
Pablo Neruda
Panos Ioannides
Patricia Pawestri
Paul Valéry
Paul van Ostaijen
PDS H.B. Jassin
Penerbit SastraSewu
Percy Bysshe Shelley
Pierre de Ronsard
Poems
Poetry
Pramoedya Ananta Toer
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Putu Setia
Pyotr Ilyich Tchaikovsky
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Radhar Panca Dahana
Rainer Maria Rilke
Rakai Lukman
Rama Dira J
Rambuana
Read Ravel
Rengga AP
Resensi
reviewer
RF. Dhonna
Richard Strauss
Richard Wagner
Ridha al Qadri
Robert Desnos
Robert Marcuse
Ronny Agustinus
Rosalía de Castro
Ruth Martin
S. Gunawan
Sabine Müller
Samsul Anam
Santa Teresa
Sapardi Djoko Damono
Sara Teasdale
Sasti Gotama
Saut Situmorang
Schreibinsel
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Short Story
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Siwi Dwi Saputro
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Solo Exhibition Rengga AP
Sony Prasetyotomo
Sri Wintala Achmad
Stefan Zweig
Stefanus P. Elu
Subagio Sastrowardoyo
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahruddin El-Fikri
T.S. Eliot
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
Thales
The World Readers Award
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
To Take Delight
Toeti Heraty
Tunggul Ametung
Ulysses
Umar Junus
Unknown Poet From Yugoslavia
Usman Arrumy
Utami Widowati
Vladimir Nabokov
W.S. Rendra
Walter Savage Landor (1775-1864)
Watercolour Paint
Wawan Eko Yulianto
Wawan Pinhole
Welly Kuswanto
Wildani Hefni
William Blake
William Butler Yeats
Wizna Hidayati Umam
World Letters
X.J. Kennedy
Yasraf Amir Piliang
Yasunari Kawabata
Yogas Ardiansyah
Yona Primadesi
Yuja Wang
Yukio Mishima
Z. Afif
Zadie Smith
Zeynita Gibbons
Tidak ada komentar:
Posting Komentar