Kamis, 12 Agustus 2021

Sekali lagi tentang Artemio Cruz

Hasan Junus
riaupos.com
 
Seorang lelaki kaya sedang menunggu ajal tiba. Masih perlukah suatu nama? Baiklah! Nama lengkapnya Artemio Cruz. Sedang terbaring terlentang sekarat menunggu ajal tiba di atas ranjang kema tian di Meksiko. Ia sedang mengalami “nazak” atau “sakaratul maut”, suatu keadaan yang menjadikan manusia berada di titik didih kehidupan. Posisi duniawinya yang terakhir dikenal dengan gelar “Caudillo” yang artinya Sang Pemimpin. Dulu, dulu sekali, pada bagian awal kehidupannya ia cuma dikenal sebagai Artemio Si Tambi karena statusnya sebagai pesuruh di sebuah kantor.
 
Akan tetapi Artemio Cruz bukan sosok yang pantas disebut “kayu” yang tak berkembang dan terus saja menjadi orang tongong yang kekal dungunya. Ia mengapresiasi setiap perubahan dimulai dari dekadensi sampai pada revolusi. Karena itulah berawal dari seorang tambi ia terus berubah (baca: meningkat) menjadi seorang pemberontak terhadap status sosialnya, lalu menjadi kapitalis yaitu raja dalam industri media-massa di Meksiko.
 
Pada sepotong langit yang kelihatan di jendela, dan pada langit-langit di atas kepala Artemio Cruz sebuah proyeksi kilas balik perjalanan hidupnya sedang berlangsung. Seperti sebuah film. Ketika seseorang sedang “nazak” menunggu ajal pada waktu itu sudah tak ada lagi perubahan yang layak dan perlu baginya. Cuma tersisa satu kata yang jitu untuk keadaan orang itu: menunggu! Dalam keadaan menunggu itulah kisah Artemio Cruz mengalir.
 
Artemio Cruz seorang kaya? Kata kaya yang dipadankan di sini mempunyai makna ganda. Ia kaya karena berharta melimpah, dan ia kaya karena punya pengalaman hidup segudang pabrik. Label yang harus ditempelkan di dahinya bermacam neka mulai dari perusuh, pesuruh atau tambi, petualang, pembohong, penipu, pencinta orang-orang susah, si lembut hati, si ganas kejam, dermawan yang tak memilih sasaran, bakhil nauzubillah minal dunia wal akhirah terus sampai menjadi direktur sebuah perusahaan industri persurat-kabaran yang sedang dan sangat jaya-jayanya tiada bertolok dan berbanding dan bersaing di Meksiko dan Amerika La-tin.
 
Akan tetapi mengapa Artemio Cruz dan bukan orang lain yang berhasil secemerlang dan segemilang itu? Jawabnya ialah: karena uang dalam genggaman Artemio Cruz berkelamin betina. Uang seperti itu kalau dikawinkan secara baik-baik, dipestakan dan dikenduri kan tentulah dia akan beranak; kalau tak dikawinkan baik-baik dia mencari sendiri lelaki (pilihan atau sembarang) dan uang betina yang sangat nakal itupun beranak banyaaaaak sekali tanpa perlu lebih dulu melalui proses pernikahan menurut cara apapun, tanpa doa dan pesta, tapi anak-anaknya yang banyak terus saja tanpa berhenti sejenakpun beranak-pinak tiada berjeda seperti air pasang yang tak pandai surut dan segera berubah menjadi banjir banding yang tak terbendung. Uang betina yang paling ratu cuma ada satu dalam hidup manusia sedunia konon diberikan sendiri oleh sang iblis dengan tujuan untuk menggoda.
 
Untuk menerangkan keadaan ajal yang mendekat sudah sangat hampir dan nyaris, banyak orang Riau sudah lupa pada kata lama yang diadopsi dari kata bahasa Arab “nazak” yang berasal dari kata naz’ yang menurut Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic (Librairie du Liban, Beirut, 1980 hlm 955) yang berarti “death struggle” atau “agony of death” seperti juga kata padanannya sakaratul maut (hlm 417).
 
Banyak orang menganggap novel La muerte de Artemio Cruz (“Kematian Artemio Cruz”) sebagai karya Carloz Fuentes yang terbaik. Kisah tidak saja disusun berdasarkan kilas balik atau “flash-back” menurut tokoh yang yang sedang berdepan dengan sang Maut, tapi dilihat dari sudut pandang orang pertama, kedua dan ketiga. Gaya yang sangat mewah dan komplit.
 
Karya sulung Carlos Fuentes yang terbit buat pertama kali pada tahun 1962 ini ialah sebuah karya pelopor seperti juga kepeloporan yang lain di Amerika Latin telah didahului oleh pengarang Brasil Machado de Assis, dan pengarang Colombia Gabriel Garcia Marquez peraih Hadiah Nobel 1982 bidang kesusastraan.
 
Dalam menghadapi kematian, pikiran dan perasaan serta kesadaran Artemio Cruz mengembara di ruang masa lampau dan masa kini, kisah berlangsung dengan sudut pandang yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan pandangan si pencerita. Teknik penceritaan avant-garde yang dilakukan Carlos Fuentes ini hanya bisa terjadi kalau pengarang itu berupaya keras sekali menentang, melawan dan mengalahkan dominasi dan nominasi “tradisi” yang berakar kuat dan mendalam dalam masyarakat. “Nenek moyang sudah berkarya, kini giliran saya!” kira-kira begitulah mereka berkata.
 
Bagi seorang anak manusia datangnya kematian dapat ditafsirkan sebagai leburnya hubungan dengan dunia. Karena itu pemakaian kata bahasa Melayu untuk keadaan itu memperlihatkan kecerdasan filosofis yaitu “meninggal-dunia”. Meninggal-dunia berarti kembali ke titik nol dengan pengalaman yang komplit. Mulai dari warna dan nada yang bergetar warna-warni pada cinta remaja sampai ke kepedihan dan kehampaan, tawar dan hambar pengalaman pernikahan yang tiada membawa bahagia di tengah limpahan harta. Alangkah hambar dan tawarnya hidup tiada berasa apa-apa, tiada lezat dan tak lezat di lidah kehidupan. Semua itu rupanya molek, indah, nikmat dan lezat sebelum semua itu berhasil diraih.
 
Hal ini sama dengan pandangan tiga seniman sahabat sehari-hari saya: pelukis, musikus dan sastrawan. Dalam pengalaman si pelukis yang ia tuangkan dalam setiap hari pembicaraan pada setiap kesempatan ia mengatakan bahwa setelah semua warna di palet diberikan ke kanvas melalui kuas maka hasilnya ialah warna putih. Tapi warna putih itu ialah yang kedua, bukan warna putih yang asal.
 
Si musikus pun mengatakan hal yang sama. Setelah semua bunyi yang ada dalam alam melalui instrumen musik kita tuangkan habis-habis, kering kerontang, yang tersisa ialah kebisuan.
 
Memang ada ucapan bijaksana seorang filsuf Cina yang mengatakan bahwa setelah sepuluh ribu kata dipakai maka perbendaharaan kata-kata pun kembali lalu ke awalnya. Pengalaman si sastrawan sendiri memang membenarkan hal itu karena itu ia tahu benar bagaimana dan seperti apa rasanya kehilangan kata-kata, kehilangan huruf, kehilangan bunyi, kehilangan semua alat yang dapat membentuk sasaran yang hendak digapainya. Akan tetapi keadaan itu bukan kehilangan yang pertama tapi tahap kesunyian yang kedua. Pengalaman ketiga seniman ini boleh saja dipakai oleh siapa yang hendak menggunakannya tapi jangan sekali-kali dicuri!
***

http://sastra-indonesia.com/2010/10/sekali-lagi-tentang-artemio-cruz/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aang Fatihul Islam Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Adam Roberts Adelbert von Chamisso Adreas Anggit W. Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus R. Sarjono Ahmad Farid Yahya Ahmad Yulden Erwin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Albert Camus Albrecht Goes Alexander Pushkin Alit S. Rini Amien Kamil Amy Lowell Andra Nur Oktaviani André Chénier Andy Warhol Angela Angela Dewi Angrok Anindita S. Thayf Anton Bruckner Anton Kurnia Anwar Holid Arif Saifudin Yudistira Arthur Rimbaud Arti Bumi Intaran AS Laksana Asep Sambodja Awalludin GD Mualif Axel Grube Bambang Kariyawan Ys Basoeki Abdullah Beethoven Ben Okri Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Berto Tukan BI Purwantari Birgit Lattenkamp Blaise Cendrars Book Cover Brunel University London Budi Darma Buku Kritik Sastra C.C. Berg Candra Kurnia Cecep Syamsul Hari Chairil Anwar Chamim Kohari Charles Baudelaire Claude Debussy Cristina Lambert D. Zawawi Imron Damhuri Muhammad Dana Gioia Daniel Paranamesa Dante Alighieri Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Dareen Tatour Darju Prasetya Darwin Dea Anugrah Denny Mizhar Diponegoro Djoko Pitono Djoko Saryono Dwi Cipta Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Edgar Allan Poe Eka Budianta Eka Kurniawan Emha Ainun Nadjib Emily Dickinson Enda Menzies Endorsement Ernest Hemingway Erwin Setia Essay Evan Ys Fahmi Faqih Fatah Anshori Fazabinal Alim Feby Indirani François Villon François-Marie Arouet (Voltaire) Frankfurt Book Fair 2015 Franz Kafka Franz Schubert Franz Wisner Frederick Delius Friedrich Nietzsche Friedrich Schiller Fritz Senn FX Rudy Gunawan G. J. Resink Gabriel García Márquez Gabriela Mistral Gerson Poyk Goenawan Mohamad Goethe Hamid Dabashi Hardi Hamzah Hasan Junus Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier Henry Lawson Hera Khaerani Hermann Hesse Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ignas Kleden Igor Stravinsky Imam Nawawi Indra Tjahyadi Inspiring Writer Interview Iskandar Noe Jakob Sumardjo Jalaluddin Rumi James Joyce Jean-Paul Sartre Jiero Cafe Johann Sebastian Bach Johannes Brahms John H. McGlynn John Keats José de Espronceda Jostein Gaarder Kamran Dikarma Katrin Bandel Khalil Gibran (1883-1931) Koesoema Affandi Koh Young Hun Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Koskow Kulya in the Niche of Philosophjy Laksmi Pamuntjak Laksmi Shitaresmi Lathifa Akmaliyah Laurencius Simanjuntak Leila S Chudori Leo Tolstoy Lontar Foundation Lorca Lord Byron Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lutfi Mardiansyah Luthfi Assyaukanie M. Yoesoef M.S. Arifin Mahmoud Darwish Mahmud Ali Jauhari Mahmudi Maman S. Mahayana Marco Polo Martin Aleida Mathori A Elwa Max Dauthendey Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Michael Kumpfmüller Michelangelo Milan Djordjevic Minamoto Yorimasa Modest Petrovich Mussorgsky Mozart Mpu Gandring Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Yasir Mulla Shadra Nenden Lilis A Nikmah Sarjono Nikolai Andreyevich Rimsky-Korsakov Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nizar Qabbani Noor H. Dee Notes Novel Pekik Nunung Deni Puspitasari Nurel Javissyarqi Octavio Paz Orasi Budaya Orhan Pamuk Pablo Neruda Panos Ioannides Patricia Pawestri Paul Valéry Paul van Ostaijen PDS H.B. Jassin Penerbit SastraSewu Percy Bysshe Shelley Pierre de Ronsard Poems Poetry Pramoedya Ananta Toer Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putu Setia Pyotr Ilyich Tchaikovsky R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Radhar Panca Dahana Rainer Maria Rilke Rakai Lukman Rama Dira J Rambuana Read Ravel Rengga AP Resensi reviewer RF. Dhonna Richard Strauss Richard Wagner Ridha al Qadri Robert Desnos Robert Marcuse Ronny Agustinus Rosalía de Castro Ruth Martin S. Gunawan Sabine Müller Samsul Anam Santa Teresa Sapardi Djoko Damono Sara Teasdale Sasti Gotama Saut Situmorang Schreibinsel Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Short Story Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Siwi Dwi Saputro Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Solo Exhibition Rengga AP Sony Prasetyotomo Sri Wintala Achmad Stefan Zweig Stefanus P. Elu Subagio Sastrowardoyo Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahruddin El-Fikri T.S. Eliot Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Tengsoe Tjahjono Thales The World Readers Award Tito Sianipar Tiya Hapitiawati To Take Delight Toeti Heraty Tunggul Ametung Ulysses Umar Junus Unknown Poet From Yugoslavia Usman Arrumy Utami Widowati Vladimir Nabokov W.S. Rendra Walter Savage Landor (1775-1864) Watercolour Paint Wawan Eko Yulianto Wawan Pinhole Welly Kuswanto Wildani Hefni William Blake William Butler Yeats Wizna Hidayati Umam World Letters X.J. Kennedy Yasraf Amir Piliang Yasunari Kawabata Yogas Ardiansyah Yona Primadesi Yuja Wang Yukio Mishima Z. Afif Zadie Smith Zeynita Gibbons